TEORI SIMBOL
Ngurah
Aditya
Guardian
Information at STAH DNJ, and Freedom Writers
rahdeaditya@gmail.com
Menurut Bodgan dan Taylor, teori interaksionisme simbolik dapat dikatakan
sebagai pendekatan yang penting dari fenomenologi yang mana orang senantiasa
berada dalam sebuah proses interpretasi dan definasi, karena mereka harus terus
menerus bergerak dari satu situasi ke situasi lain. Sebuah fenomena akan
bermakna apabila ditafsirkan dan didefinisikan
(Suprayogo dan Tobroni, 2001 : 105).
(Suprayogo dan Tobroni, 2001 : 105).
Dasar pemikiran lain dari teori interaksionisme simbolik menganggap bahwa
manusia adalah mahluk pencipta, pengguna serta pembuat simbol. Semua yang
dilakukan menggunakan simbol dan dengan simbollah manusia dapat berinteraksi.
Istilah interaksionisme simbolik menunjuk kepada sifat khas dari interaksi
antar manusia. Kekhasannya adalah bahwa manusia adalah saling menerjemahkan dan
saling mendefiniskan tindakannya. Bukan hanya sekedar reaksi dari tindakan
seseorang terhadap tindakan orang lain melainkan didasarkan atas makna yang
diberikan terhadap tindakan orang lain itu. Interaksi antar individu diwujudkan
oleh simbol-simbol, interpretasi atau dengan saling memahami maksud dari
tindakan masing-masing.
Ardhendu Sekhar Gosh (dalam Titib, 2001 : 63) menyatakan bahwa kata simbol
berasal dari kata “symbolon” (dalam bahasa Greek) yang berarti tanda dan dengan
tanda itu seseorang mengetahui atau mengambil kesimpulan tentang sesuatu.
Didalam bahasa Sanskerta kata simbol adalah ‘pratika’ yang mengandung arti yang
datang ke depan, yang mendekati. Dengan demikian kata ini mengandung makna
menunjukkan, menampilkan atau menarik kembali sesuatu dengan analogi kualitas
kepemilikan atau dengan mengasosiasikan kedalam fakta atau pikiran. Disamping
kata ‘pratika’, kata simbol dapat dijumpai beberapa padanannya di dalam bahasa
Sanskerta, antara lain : cihnam,
laksanam, lingam, samjna, pratirupa.
John Dewey dan Blumer, telah menyempurnakan pandangan interaksi simbol
dengan membagi tiga prinsip arti simbol yang diberikan oleh informan. Ketiga
prinsip itu adalah :
a)
Dasar
manusia bertindak adalah untuk memenuhi kepentingannya, dalam memberikan
tindakan atau fenomena, peneliti perlu sekali mengetahui proses atau
konsekuensi dan tindakannya.
b)
Proses
suatu tindakan seseorang pada prinsipnya merupakan produk atau hasil proses
sosial ketika orang tersebut berinteraksi dengan orang lain, dalam memberikan
interpretasi gejala, peneliti harus tepat mempertimbangkan hasil interaksi yang
mempengaruhinya.
c)
Manusia
bertindak dipengaruhi oleh fenomena lain yang muncul lebih dulu atau bersamaan.
Oleh karena itu peneliti perlu memperhatikan fenomena atau gejala yang
berkaitan atau yang mempengaruhi munculnya gejala tersebut (Arikunto, 2002 :
13).
Simbol adalah sesuatu yang perlu ditangkap
(ditafsir) maknanya dan pada giliran berikutnya dibagikan oleh dan
kepada masyarakat dan diwariskan kepada anak cucunya (Susanto, 1990 : vi-vii). Dibyasuharda (1990 : 22) dengan mengutip
pendapat Carl Gustav Jung mengatakan bahwa simbol mengandaikan bahwa ekspresi
yang terpilih adalah formulasi yang paling baik akan sesuatu yang relatif tidak
terkenal, namun hal itu diketahui sebagai hal yang ada atau diharapkan ada.
Selama suatu simbol hidup, simbol itu adalah ekspresi suatu hal yang tidak
dapat ditandai dengan tanda lebih tepat. Simbol hanya hidup selama simbol itu
mengandung arti bagi kelompok manusia yang besar sebagai sesuatu yang mengandung
milik bersama sehingga simbol menjadi simbol sosial yang hidup dan pengaruhnya
menghidupkan.
Triguna, (200 : 35) memaparkan bahwa ada empat peringkat simbol, yaitu :
(1) simbol konstruksi yang berbentuk kepercayaan dan biasanya merupakan inti
dari agama; (2) simbol evaluasi berupa penilaian moral yang sarat dengan nilai,
norma dan aturan; (3) simbol kognisi berupa pengetahuan yang dimanfaatkan
manusia untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas dan keteraturan agar
manusia lebih memahami lingkungannya; (4) simbol ekspresi berupa pengungkapan
perasaan. Keempat pembagian simbol itu bila dilihat secara
hierarki-vertikal-transenden menyebabkan simbol konstruktif merupakan simbol
yang paling hakiki. Simbol ekspresif atau simbol untuk mengungkapkan perasaan berada
pada posisi pinggiran dalam struktur simbol. Artinya, struktur simbol seperti
itu membawa konsekuensi yaitu perubahan pada simbol ekspresif tidak dengan
sendirinya diikuti oleh simbol konstruktif. Sebaliknya, perubahan pada simbol
konstruktif dapat diprediksi akan terjadi penafsiran kembali pada simbol moral,
kognitif, dan simbol ekspresif. Hubungan yang memperlihatkan pola sibernetik
tersebut memungkinkan ditarik suatu asumsi bahwa jumlah simbol konstruktif jauh
lebih sedikit daripada simbol lainnya. Walaupun jumlahnya sedikit, simbol
konstruktif merupakan pedoman yang pokok sehingga simbol ini merupakan sumber
sekaligus tatanan bagi simbol-simbol lainnya. Triguna (1997 : 64) juga
mengatakan bahwa simbol adalah suatu hal atau keadaan yang merupakan pengantaran
pemahaman terhadap objek. Manifestasi serta karakteristik dari simbol tidak
terbatas pada isyarat fisik tetapi juga berwujud pada penggunaan kata-kata
yaitu simbol suara yang mengandung arti serta bersifat standar. Simbol juga
seringkali memiliki makna mendalam yaitu konsep yang paling bernilai dalam
kehidupan suatu masyarakat.
Svami Sivananda (1997 : 16) dalam bukunya yang berjudul “all about Hinduisme” dan terjemahannya
ke dalam bahasa Indonesia dengan judul : Intisari Ajaran
Agama Hindu oleh Yayasan Sanatana Dharmaasrama Surabaya, menegaskan bahwa : “bagaimanapun kecerdasan seseorang, ia tidak dapat berkonsentrasi tanpa bantuan suatu simbol pada awalnya, dalam rangka ia berhubungan atau memuja Tuhan (Brahman)”.
Agama Hindu oleh Yayasan Sanatana Dharmaasrama Surabaya, menegaskan bahwa : “bagaimanapun kecerdasan seseorang, ia tidak dapat berkonsentrasi tanpa bantuan suatu simbol pada awalnya, dalam rangka ia berhubungan atau memuja Tuhan (Brahman)”.
Simbol sangat
bermanfaat bila dipandang dari sudut pandang yang benar, simbol akan memainkan
suatu bagian yang sangat penting dalam kehidupan material, demikian juga dalam
kehidupan spiritual. Walaupun kelihatannya sangat sederhana dan remeh akan
tetapi penggunaan simbol sangat berguna dan efektif. Pratima atau patung merupakan simbol pengganti dari yang dipuja.
Penggunaan sarana berupa simbol sangat dibutuhkan bagi umat dalam meningkatkan
rasa baktinya kepada Tuhan. Mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh manusia
biasa maka ia tidak akan bisa berhubungan langsung atau memuja Brahman tanpa melalui atau menggunakan
suatu simbol, berbeda dengan para Maha Yogin atau Vedantin, mereka mampu
berhubungan dengan yang dipujanya tanpamenggunakan simbol karena mereka sudah
melatih diri sejak lama melalui ajaran yoga
atau meditasi yang rutin, sehingga mereka telah mencapai apa yang disebut
dengan siddhi. Beranjak dari
keterbatasan manusia dalam mewujudkan keberadaan yang dipuja maka sangat
dibutuhkan suatu simbol dalam mewujudkan makna keberadaan Brahman itu. Walaupun
diketahui Brahman bukanlah
simbol-simbol itu akan tetapi Dia hadir dalam simbol tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Triguna,
Ida Bagus Gede Yudha.2000. Teori Tentang
Simbol. Denpasar : Widya Dharma.
Dibyasuharda.
1990. Dimensi Metafisik Dalam
Simbol.Ontologi Mengenai Akar Simbol. Yogyakarta : UGM
Suprayogo,
Imam dan Tabroni. 2001. Metodologi
Penelitian Sosial-Agama. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar