KAJIAN
CERITA CANGKRANGGA DAN DURBUDHI DALAM TANTRI KAMANDAKA DARI PENDIDIKAN AGAMA
HINDU
Ngurah Aditya
Librarian STAH DNJ, and
Freelance Writers
Diresume dari skripsi Purnam,
dgn judul sama
A.
Abstrak
Pendidikan
adalah suatu proses membimbing, mengarahkan, menuntun seseorang untuk
meningkatkan dirinya guna menuju kepada tingkat kedewasaan baik itu dewasa
secara fisik atau dewasa mental spiritual. Dalam usaha mengkaji ilmu pendidikan
tersebut banyak dilakukan melalui berbagai wujud dalam usaha dilaksanakan, diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga pada akhirnya seseorang dapat memiliki
pengetahuan yang membuat dirinya menjadi orang yang memiliki budi pekerti yang
luhur dan bijaksana untuk menuju pada pencapaian kebahagiaan rohani (Moksah)
dan mampu mencapai tingkat kesejahteraan jasmani (Jagadhita).
Untuk
mencapai moksartham dan jagadhita (kebahagiaan rohani dan kesejahteraan
jasmani), serta memiliki budi pekerti yang luhur, bijaksana maka cara atau
jalan satu-satunya yang perlu ditempuh adalah dengan selalu meningkatkan
usaha-usaha untuk mempelajari Weda (Ilmu Pengetahuan).
Untuk
mempelajari Weda yang sangat rahasian itu telah diturunkan pula cerita rakyat,
tantri kamandaka, serat pararaton yang merupakan penjabaran, penjelasan dari
isi Weda, sehingga umat lebih mudah
untuk mempelajari dan memahaminya. Tantri kamandaka adalah merupakan
bagian dari nibanda. Tantri kamandaka adalah kumpulan cerita yang mengandung
nilai-nilai pendidikan yang sangat tinggi yang dapat dipergunakan sebagai
cermin dalam kehidupan sehari-hari, keberadaan cerita Cangkrangga Wmang
Durbudhi dianggap memiliki nilai-nilai pendidikan yang sangat tinggi yang
terkandung didalamnya.
Kata
kunci: Tantri Kamandaka, Nilai
Pendidikan, Cakrangga Wmang Durbudhi
B.
Latar
Belakang
Manusia sebagai mahluk
individu dan mahluk social dalam hidup bermasyarakat dalam memenuhi segala
kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani, dalam hidup bersosialisai, bermasyarakat
manusia memerlukan pedoman, norma supaya tidak terjadi benturan dalam memenuhi
segala kebutuhan itu.
Demikian halnya dengan
umat Hindu sebagai bagian dari kehidupan social umat manusia sangat memerlukan
adanya petunjuk sebagai pedoman hidup. Agama Hindu mempunyai tujuan untuk
mencapai kesejahteraan jasmani dan kebahagiaan rohani.
Untuk mencapai tujuan
Agama Hindu umat Hindu harus mengetahui dan belajar Veda (ilmu pengetahuan),
dengan ilmu pengetahuan yang sempurna orang akan memiliki kebijaksanaan untuk
menjadi prang yang bijaksana melalui pendidikan formal dan informal. Ilmu
pengetahuan terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, demikian halnya
dengan pendidikan. Pendidikan berjalan secara continue, yang kerap di kenal
sebagai pendidikan seumur hidup (Long Life Education).
Agama Hindu adalah
agama yang bersifat universal yang memberikan kebebasan kepada penganutnya
untuk mempelajari, menghayati sari-sari ajaran agamanya serta mengamalkan dalam
berbagai aspek kehidupan. Dengan sifatnya yang universal itu,Veda sebagai kitab
sucinya bukan untuk satu golongan saja tetapi adalah untuk seluruh umat manusia
baik yang beragama Hindu maupun yang tidak memeluk agama Hindu. Namun demikian
untuk mempelajari agama Hindu tidaklah mudah, selain kesuciannya isi ajaran
Veda sangatlah luas dan sifatnya yang sangat rahasia.
Karena sifatnya yang Rahasia
dan sukar seseorang harus melakukan penyucian lahir dan bathin, serta di
pelajari secara berjenjang melalui berbagai bentuk cerita-cerita, termasuk di
dalamnya Panca Tantra yang didalamnya banyak mengandung ajaran kebajikan,
moral, etika dan budi pekerti. Ajaran-ajaran yang terkandung dalam Panca Tantra
sebenarnya mengacu kepada ajaran-ajaran yang teradapat dalam kitab suci Veda.
Namun dalam penyampaiannya kitab Panca Tantra tidak menyebutkan bagian Veda
mana yang “ditafsirkan” dalam Kitab Panca Tantra.
Berdasarkan hal
tersebut di atas maka penulis mencoba mengkaji nilai-nilai pendidikan yang
terdapat dalam cerita Tantri Kamandaka terutama pada bagian Tjakarangga dan
Durbudhi yang isinya menceritakan tentang persahabatan antara angsa dan
kura-kura yang mereka bersahabat karena adanya air. Karena danau tempat
Tjakarangga dan Durbudhi tinggal di landa kekeringan akhirnya mereka memutuskan
untuk pindah. Karena kura-kura tidak dapat terbang maka angsa memberikan
sepotong kayu di mulut kura-kura. Dalam perjalannya mereka melewati sepasang
anjing yang mencemooh kura-kura. Kura-kura yang tak dapat menahan
kemarahaannya, sehingga ia terjatuh kemudian tewaslah mereka.
Cerita Tantri Kamandaka
merupakan cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun yang didalamnya
mengandung ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab suci Veda. Dalam cerita
“matinya sang kura-kura” disebabkan oleh kesombongan dan kemarahan. Cerita ini
sangat baik digunakan sebagai media untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama
Hindu kepada umatnya serta menghayati serta mengamalkan nilai-nilai yang
dipakai pedoman dan tuntunan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.
Mengingat makin terbukanya pergaulan bangsa dalam Era Globalisasi yang
dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuand dan teknologi hal ini sudah
pasti memberikan pengaruh pada kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah yang
belakangan ini tampak adanya sikap yang kurang perhatian di kalangan generasi
muda terhadap karya sastra tradisional, kecenderungan generasi muda saat ini
untuk meniru budaya dari luar, membuat karya sastra local menjadi di
tinggalkan.
C.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
tersebtu di atas tampak jelas bahwa, bagian dari cerita Tantri Kamandaka
Terdapat suatu nilai pendidikan. Untuk menyiasati kontek kajian tersebut
diperlukan rumusan masalah dalam menyatakan kaidah yang ada.
Karena rumusan masalah sangat penting
dalam proses penulisan, tanpa ada masalah tidak mungkin adanya penggalian
nilai-nilai untuk menentukan hasil suatu kajian.
Bertitik tolak dari latar belakang
tersebut di atas, maka penulis dalam merumuskan masalah memilih sebagai
berikut:
1. Apakah
nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam cerita matinya sang kura-kura?
2. Bagaimana
hubungan cerita matinya sang kura-kura bila dikaitkan dengna pendidikan moral
etika Hindu?
D.
Kedudukan
Cerita Cangkrangga Wmang Durbudhi Dalam Kitab Suci Weda
Dalam
kamus besar bahasa Indonesia edisi kedua cetakan ke IV yang diterbitkan oleh
Balai Pustaka tahun 1995. Pada halaman 245 “kedudukan diartikan antara lain;
(1) tempat kediaman, (2) letak atau tempat suatu benda dan status (keadaan atau
tingkatan orang, badan atau Negara dsb)”. Berkenaan dengan itu maka yang
dimaksud dengan keududkan tantric kamandaka dalam kitab suci Weda adalah letak
atau tempat keberadaan dari tantri Kamandaka, serta keterkaitannya dengan kitab
suci Weda.
Cerita
tantric ini bila di telusuri lebih jauh, tidak jelas siapa yang menyusunnya dan
siapakah yang membawanya ke Indonesia. Para pujangga pada jaman dahulu enggan
mencantumkan jati dirinya, mereka bercerita secara anonym. Padahal
cerita-cerita yang mereka sampaikan mengandung nilai yang tinggi dan bermanfaat
dalam kehidupan sehari-hari.
Tantric
Kamandaka merupakan bagian dari isi kitab suci Weda. Definisi konsep Tantri
Kamandaka merupakan bagian dari isi kitab suci Weda. Definisi konsep Tantri
Kamandaka mengacu pada pengetahuan mengendai kitab suci dan pengertian dari
kitab suci Weda sehingga konsep Tantri Kamandaka adalah memuat penafsiran
ajaran Weda yang di laksanakan dalam kehidupan keagamaan Hindu.
E.
Sinopsis
Cangkrangga Wmang Durubudhi
Cangkrangga
wmang durbudhi merupakan salah satu episode yang terdapat dalam tantric
kamandaka, yang di terjemahkan oleh (Drs.
I Wayan Warna, Ida Bagus Gde Murda, BA, Ida Bagus Marka, Ida Bagus Sunu, I Made
Lodamanta, diterbitkan Dinas pendidikan dan kebudayaan propinsi dati I Bali,
1986) adapun cerita tersebut berikut:
Hana ta ya pas
munggwing talaga kumudawati, ramya ikang talaga akweh tunjungnya aneka warna
hana cweta, rakta mwang nila pangkaja. Hanaa ta hangca lakistri, masabha rikang
talaga kumudawati panangka hiking wwai sangkaring talaga masasara hangca lanang
si cangkanggi ngaran: i. hangca wadon yeka sama maungguwing talaga kumudawati
malawas pwa masamitra lawan sang pas mangaran di durbudhi ikang lanang si
kacapa ikang wadon.
Kunang meh la
hru masa, sang cayasat wwainikang talaga kumudawati, mawit ikang hangca laki
biring mitranya pas ikang mangaran si durbudhi mwang maminengka saka ngke apan sang
cayasat tika mangke wwainikang talaga kamu wwai, nimittani nghulun mahyun
layato, umungsi talaga ring himawan parwa ta ngkana, mangaran ring manasasara,
maha pawitra ika, wwainya mahening adalem lan masat yan lahatamasuri kana paran
ing hulan mitra.
Mangkana ing
nikang hanga sumaheir ikang paslingnya; asuh mitra lukon marasihining hulun iri
kita mahyun matinggala kita mangke ring hulun mariha hurpita prihawak? Apan
pada gatining hulan lawan kita tan wenang madoha lawan wwai! Saparanta mami
tumuta milwa ri sukuduhkanta makaphalaning wwang samitra lawan kita.
Yang di terjemahkan sebagai berikut
:
Tjangkarangga dan Durbudhi adalah kura-kura
dalam telaga kumudawati. Permai telaga itu banyak teratainya, beraneka warna
ada yang merah, putih ada yang kebiru-biruan.
Ada
angsa jantan-betina berkeliaran mencari makan di telaga kumudawati yang asal
airnya dari telaga manasara adapun nama angsa itu si tjangkarangga, yang jantan
bernama tjangkranggi, yang betina mereka sama-sama ada ditelaga lamalah sudah
bersahabat dengan kura-kura yang bernama durbudhi dan katjapa maka katanya:
“sahabat kami akan minta diri akan pergi berjalan. Berhasaratlah kami pergi
dari sini karena makin kering air ini nanti air telaga kumudawati. Lagi pula
menghadapi musim kemarau kami (kalau) akan jauh dari air itulah mula sebabnya
kami bermaksud akan pergi mencari telaga ke gunung hemawan itu bernama
manasasara. Sangat hening telaga itu, airnya jernih dan dalam, tidak kering
pada masa kemarau. Kesanalah tujuan pergi kami sahabat, demikian perkataan
angsa itu, menyahutlah kura-kura itu katanya; aduhai sahabat, sangat besar
cinta kami, akan menyelenggarakan hidupmu sendiri, bukankah sama hal kami
dengan hal kamu (sama-sama) tak dapat jauh dari air, kemana kamu pergi kami
akan turut, akan mengikuti kepada senang dan susah kamu, itulah buah
persahabatan kami dengan kamu.
Sumahur
ikang hangca; aum sang pas, hana kira-kira ning hulun nihan iking kayu sahutan
denta ri tangahnya, kami sumahura denta ri tangahnya, kami sumahura ri
tantungnya, sana-sini lawan swamining hulun kakawaca mene dening hulun humi
berekene rikita, hawya tan mategah denta manahut, nguni weh haywa ngucap-ngucap
salwirning kurungkalan. Seoeng ning hulun humi beraken ai ri kita, haywa juga
binaruhan denta, yan hance, atakwana haywa juga sinaruhan, yekti ulahanta,
haywa ta san pmituha pawuwus mami kunang ika yan tan pamitu hu warah mami, tan
sidha tekeng dan matemahan pati.
Mangkana
lingnikang hangc yata sinahut tengah nikang kayu dening kang pas. Tungung
nikang kaya mwang bung bahnya cenucak dening kang hangca sana-sini sajalu stri
kanan kiri, teher amor ikang pas winawa dening hangca amare rikang talaga mana
sasara kah yunira.
Huwus
madah ulihnya mor dating pwa ya ri rihuring tegal wilanggala.
Yang dimaskud adalah sebagai berikut:
Menjawab
angsa itu; hai sang kura-kura ada angan-angan kami begini; kayu ini pagutlah
oleh mu ditengah-tengah kami akan memagutnya pada ujung sebelah sana dan
sebelah sini. Kami nanti membawa terbang kamu jangan tidak teguh kamu akan
memangutnya dan lagi jangan mempercakapkan apa saja yang kita atasi. Selama
kami membawa terbang kepada kamu jangan pula (sesuatu yang) ditegur-tegur
olehmu. Kalau ada yang bertanya-tanya jangan pulan di beri jawaban itulah
tugasmu jangan pula tidak mengikuti apa yang kami katakana tadi kalau kamu
tidak ingat-ingat kepada ajaran kami itu maka tak terlaksana kamu tidak akan
sampai tempat tujuan kita bahkan matilah kamu.
Demikian
perkataan angsa dipagutilah tengah-tengah kayu itu oleh kira-kira ujung kayu
dan pangkalnya dipagut oleh angsa disebelah sana dan sebelah sini laki bini
kanan kiri, lalu terbang kura-kura itu dibawa oleh angsa, maksudnya akan pergi
ke telaga manasasara. Telah jauh merka terbang, sampailah mereka diatas ladang
wilangala.
Wana
mangang tutuknya pwaya ikang pas hwa tekang kaya sinahutnya tiba ikang pas ring
ksiri tala leher pinangan taya dening cregala salakistri mati ikang passasomah,
ikang hangca kari kerangan apan tan pinihutu sapa wekasnya nguni ring purwaka,
lumaris ikang hangca mareng telaga manasasara.
Artinya adalah:
Adalah
(desana) anjing jantan-betina, bernaung dibawah pohon mangga maka menegadah
anjing betina itu melihat angsa berdua itu terbang membawa kura-kura katanya,
hai sang bapa anaku lihatlah yang benar-benar ganjil itu kura-kura dibawa
terbang oleh angsa jantan menjawab! Menjawab anjing jantan ganjil sekali
katamu! Masa kan kura-kura bisa terbang karena angsa! Bukan kura-kura itu, tai
kerbau kering, rumah karu-karu, buah tangan untuk anak-anak angsa kiranya!
Demikian
kata anjing jantan itu. Terdengarlah perkataan oleh kura-kura marah ia dalam
hatinya berdenyut-denyut mulutnya. Karena dianggap tai kering yang berisi
karu-karu, maka terbukalah mulutnya kura-kura itu lepaslah kayu yang
dipungutnya gugur kura-kura itu ke muka bumi. Mati kura-kura dengan betinanya
angsa itu tinggal meras kecewa karena tidak diikuti segala pesannya dahulu pada
mulanya meneruskan perjalannya angsa itu ketelaga manasasara. (Tantri
Kamandaka, 78 cetakan I).
F.
Tokoh Dalam
Cerita dan Sifat-sifatnya
Cerita Cangkrangga
wmang Durbudhi adalah symbol dari penggambaran sifat manusia pada umumnya, yang
semua kejadian dalam cerita itu adalah sebuah symbol yang perlu dikaji dipahami
makna yang terkandung dibaliknya. Dalam cerita Cangkrangga wmang Durbudhi
sangat luas dan banyak variable yang dapat dikaji. Mengingat terbatasnya waktu
dan kemampuan penulis maka penulis batasi kajian ini pada “disebuah telaga
kumudawati hiduplah dua ekor angsa dan dua ekor kura-kura yang hidup bersahabat
dan selalu bersama hingga suatu ketika pada saat musim kemarau air telaga
tersebut kering dan keruh, kemudian angsa berunding untuk pindah ke telaga
manasasara yang terletak di gunung hemawan yang merupakan telaga yang tidak
pernah kering airnya pada musim kemarau dan tidak keruh airnya, hal ini
disampaikan kepada kura-kura dan kura-kura ingin ikut serta karena merasa sudah
begitu saying hidup bersama selama ini, sehingga angsa memutuskan untuk membawa
kura-kura dengan cara membawa terbang dengan mengigit kayu sebagai alat
bantunya, si angsa sebelum berangkat menempuh perjalanannya menuju ke gunung
hemawan memberrikan pesan kepada kura-kura supaya patuh terhadap pesan tersebut
hingga di tengah perjalanan melintaslah angsa tersebut di atas pohon yang
dibawah pohon tersebut ada anjing yang melihat perjalanan tresbut dan
mengaktakan bahwa yang di bawa terbang angsa adalah tai kerbau bukan kura-kura,
hal ini didengar oleh kura-kura maka terpancinglah kemarahan hati sang
kura-kura hingga tidak tahan dan ingin membalas penghinaan yang di tunjukan
pada dirinya, maka terbukalah mulut kura-kura hingga kura-kura tersebut mati
jatuh, angsa merasa kecewa karena semua pesannya tidak di hiraukannya.
Berdasarkan ringkasan cerita ini beberapa variable dapat dikaji antara lain:
1.
Sepasang
angsa tinggal bersama dengan kura-kura di tepi telaga kumudawati. Dari
pernyataan ini dapat dipahami bahwa dalam agama Hindu sejak dunia ini
diciptakan oleh prajapati, kehidupan kebersamaan sudah merupakan cara yang
paling baik dalam social masyarakat. Angsa dan kura-kura dua tokoh yang berbeda
baik wujud, sifat serta perilakunya dapat hidup bersama dalam hal mengarungi
kehidupan bersama. Maka sangat aneh apabila manusia tidak dapat hidup
berdampingan antara satu dengan yang lainnya, dan harus memakai jalan kekerasan
tanpa melihat kepentingan umum atau kepentingan bersama secara menyeluruh. Bagi
umat Hindu seharusnya mempunyai ethika moral yang tinggi untuk mengendalikan
diri dan mengedepankan kepentingan bersama serta kenyamanan dilingkungannya.
Dalam Reg Veda X.191 tentang kerja sama ini disebutkan sebagai berikut :
“ samani va akutik,
Samana hradayanivah,
Samanah astu v mano,
Yatah va susahati”.
Artinya:
Samalah hendaknya tujuanmu, samalah
hendaknya hatimu, samalah hendaknya pikiranmu, dengan demikian semoga hidup
bahagia bersama-sama. (Gde Pudja, 1984; 156)
Dari sloka ini sangat jelas bahwa kerja
sama di dalam masyarakat merupakan suatu jalan mencapai keberhasilan yang
membawa pada kebahagiaan bagi semua kelompok masyarakat. Hal ini telah ada
sejak zaman weda.
2.
Angsa
sebagai simbul kebijaksanaan.
Angsa adalah jenis binatang unggas yang
memiliki sifat-sifat yang baik yaitu tidak suka berkelahi dan hidup harmonis.
Angsa juga memiliki kemampuan memilih makanan. Meskipun makanan itu bercampur
dengan air kotor tetapi yang masuk ke perutnya adalah makanan yang baik saja,
sedangkan air yang kotor keluar dengan sendirinya. Demikianlah orang yang telah
dapat menguasai ilmu pengetahuan, kebijaksanaan mereka memiliki kemampuan
wiweka. Wiweka artinya suatu kemampuan untuk membeda-bedakan yang baik dengan
yang jelek dan yang benar dengan yang salah.
3.
Bunga
Teratai atau Bunga Padma Sebagai Simbol Alam Semesta.
Bunga teratai atau bunga padma yang
melambangkan alam semesta dengan delapan penjuru mata anginnya (asta
dala)sebagai stana Tuhan Yang Maha Esa. Alam semesta merupakan tempat dimana
mahluk hidup menjalani segala sesuatunya dan memanfaatkan serta menggunakan
hasil alam semesta tersebut untuk kemakmuran masyarakat sebesar-besarnya dengan
jalan yang benar dan tidak merugikan alam tersebut. Bunga padma juga merupakan
lambang dari ilmu pengetahuan yang suci yang merupakan symbol dari hakekat
Tuhan itu sendiri. Dalam synopsis cerita diatas bunga teratai trediri dari tiga
warna yaitu merah, biru, dan putih, yang ketiganya itu tumbuh di dalam kolam
yang masing-masing mempunyai makna simbolis tersendiri. Teratai biru menunjukan
arah timur laut dan yberstana disana Dewa Sambu yang bersenjatakan Tri Sula,
teratai putih arah mata angin timur yang berstana disana adalah Dewa Iswara
bersenjatakan Bajra, teratai merah melambangkan arah mata angin selatan daksina
yang berstana disana Dewa Brahma bersenjatakan gada. Dan alangkah idnahnya
kolam tersebut yang ditumbuhi oleh bunga teratai yang merupakan stana dari pada
Tuhan. Demikianlah dunia ini yang dilambangkan dengan kolam yang dijaga oleh
para Dewa dalam setiap penjuru arah mata angin.
4.
Anjing
sebagai Simbul Kesetiaan dan Kesabaran.
Dalam Mahabaratha pada bagian Svarga
Rohanika Parva anjing disimbulkan binatang yang memiliki kesetiaan dalam
mengabdi terhadap tuannya, hingga ke manapun akan diikuti serta ditunggu dengan
sabar. Begitu juga dengan manusia yang hidup di dunia ini dengan kesabaran dan
kesetiaan memuja terhadap Tuhan Yang Maha Esa maka akan membawa suatu hasil yang sesuai dengan karma itu, sehingga
manusia akan mendapatkan kenikmatan serta kemakmuran melalui kesetiaann serta
kesabarannya.
Anjing memang merupakan binatang yang
paling setia, tetapi pada saat sudah terdesak segala cara pasti akan dilakukan
untuk mendapatkan suatu yang diinginkannya. Seperti di dalam cerita di atas
anjing menggunakan segala tipu muslihat mengatai kura-kura sebagai tai kerbau
yang di bawa terbang sehingga kura-kura menjadi marah dan akhirnya ia terjatuh
sehingga si anjing mendapatkan makanan.
5.
Kura-kura
sebagai simbul kecerobohan dan ketidak hati-hatian.
Dalam cerita ini kura-kura disimbolkan
sebagai wujud ketidakhati-hatian dan keceraobohan, ketidakmampuan menahan nafsu
amarah sehingga menyebabkan terjerumusnya kura-kura ke dalam kematian.
Kecerobohan dalam kehidupan ataupun dalam segala hal yang dilakukan oleh semua
orang akan membawa orang tersebut ke dalam kesengsaraan yang akan menimbulkan
ketidaknyamanan serta penderitaan baik fisik maupu nonfisik sehingga
menyebabkan terjadinya keridakharmonisan dalam kehidupan ini.
Didalam kitab Nitisastra V.3 disebutkan:
“wasita nimitanta manemu laksmi,
Wasita nimittanta pati kapangguh,
Wasita nimittanta manemu dukha,
Wasita nimittanta mitra”.
Artinya:
Karena kata-kata engkau mendapat
kebahagiaan
Karena kata-kata engkau menemui ajalmu
Karena kata-kata engkau menemui nestapa
Karena kata-kata engkau mendapati
teman-teman
Dari sloka diatas, maka kita sebagai
manusia harus berhati-hati dalam berkata-kata, sebab kalau kita asal bicara
maka kita akan bisa seperti kura-kura yang terdapat dalam cerita tersbut
diatas.
6.
Telaga
sebagai Simbol Dunia Ini
Telaga yang ditumbuhi oleh bunga teratai
merupakan symbol dari dunia ini yang dijaga oleh para dewa di Sembilan arah
mata angin. Maka sangat indah telaga yang ditumbuhi oleh teratai yang
berwarna-warni.
7.
Pohon
Mangga
Anjing yang menunggu makanan di bawah
pohon mangga sampai badannya kurus kering karena pohon mangga merupakan symbol
keberhasilan dan memang benar adanya akhirnya anjing itu mendapatkan makanan
yang diinginkannya.
G. Nilai Etika Agama Hindu
Nilai
adalah merupakan kualitas dari suatu kehidupan manusia. Pendidikan adalah suatu
sestem untuk menuntun, menjinjing, mengarahkan, menjadikan dewasa secara lahir
dan batin terhadap seseorang melalui penananman nilai tertentu. Kata etika
berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos atau la ethos, yang berarti kebiasaan
atau adat, dan etika menurut kamus Bahasa Indonesia yang berarti ilmu tentang
hak dan kewajiban aklak (Tim Penyusun,
1989; 271). Ilmu pengetahuan ini tidak membahas kebiasaan yang semata-mata
berdasarkan sifat-sifat dasar dan inti sari kemanusiaan, ialah adat-istiadat
yang berhubungan dengan pengertian kesusilaan. Dalam bahasa latin ethos
disebutkan dengan kata mos moralitas, karena itu ethika sering diterangkan
dengan kata moral. Akan tetapi dalam ilmu pengetahuan, kata moral itu lebih
dangkal dari pada ethika. Moral hanya menyinggung arti perbuatan luar
seseorang, sedangkan ethic menyinggung pula kaidah dan motif perbuatan
seseorang yang lebih dalam. Ethika di nyatakan dengan tepat dalam bahasa
Indonesia oleh perkataan kesusilaan atau tata susila yang mempunyai pengertian
baik, benar, sesuai, sopan santun, sikap, kaidah dan norma. Semua hal tersebut
yang menunjukan sikap terhadap semua norma itu dan menegaskan bahwa tingkah
laku manusia harus sesuai dengan norma atau perintah agama yang berasal dari
wahyu (Sabda Hyang Widhi). Titik tolak peninjauannya adalah masalah kebaikan
dan keburukan, keharusan, kebajikan, dan pahalanya, orang harus memilih yang
baik dan menjauhi yang tidak baik (menghindari asubha karma). Berdasarkan
pengalaman, tingkah laku seseorang di katakan baik atau buruk, perbuatan baik
mendapat pujian dann sebaiknya, maka itu manusia tidak saja harus dapat
membedakan perbuatan baik atau buruk, akan tetapi lebih penting lagi, ia selalu
berbuat dan bertindak, bertingkah laku baik dan menghindari perrbuatan buruk.
Berikut adalah kutipan sloka sarasamuscaya adalah sebagai berikut:
Manusah sarvabhutesu varttate vai
subhasubhe,
Asubhesu samavistam subhesvevavakarayet.
Maksudnya:
Diantara semua mahluk hidup, hanya
yang dilahirkan sebagai manusia sajalah yang dapat melakukan perbuatan baik
atau buruk, leburlah kedalam perbuatan baik segala perbuatan yang buruk itu,
demikianlah tujuannya menjelma manusia. (sarasamuscaya,2)
Yang dimaksud dalam sloka tersebut
bahwa bagaimana manusia harus menyusun hidup, sehingga kehidupan dapat
dikatakan baik, manusia memahami persolaan itu dan berusaha memcahkannya,
karena manusia harus dapat membedakan antara yang baik dan buruk serta
kemampuan memilih yang baik keluhuran manusia.
Dalam cerita Cangkrangga wmang
Durbudhi banyak terdapat nilai-nilai etika antara lain etika social budaya,
etika social ekonomi, hak dan kewajiban, tingkah laku yang kesemuanya merupakan
suatu bentuk ajaran yang perlu dipahami dan dilaksanakan oleh umat manusia di
kehidupan sehari-hari, adapun penjelasan tersebut sebagai berikut:
1. Nilai
Etika Sosial
Manusia dapat hidup
sebaik-baiknya dan mempunyai arti, apabila ia hidup bersama-sama manusia
lainnya. Apabila manusia terpaksa harus hidup sendiri, maka sifat
kesendiriannya itu tidak mutlak dan langsung, melainkan bersifat relative dan
sementara. Dari lahir samapai meninggal manusia memerlukan bantuan orang lain.
Dari kondisi inilah, maka demi kelangsungan hidupnya manusia perlu mendapat
bantuan atau bekerja sama dengan orang lain dalam masyarakat.
Dalam
mempertahankan hidup dan usaha mengejar kehidupan yang lebih baik, kiranya
tidak mungkin hal itu dikerjakan sendiri tanpa bantuan dan bekerja sama dengan
orang lain, karena menurut kodratnya manusia merupakan mahluk pribadi dan
sekaligus mahluk social. Oleh karena itu manusia hanya mempunyai arti dalam
kaitannya dengan manusia lain dalam masyarakat. Sehingga kemampuan manusia
dapat terwujud dalam bentuk kerja sama antara satu dengan yang lainnya.
Sehingga kehidupan masyarakat untuk mencapai kemajuan, dan kemakmuran dapat
diwujudkan melalui hal tersebut. Kebersamaan dan kerja sama yang dibangun dalam
etika social akan membawa pada kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat tersebut
sehingga kutipan “Brahman Atman Aikyam” yang mempunyai arti Brahman dan Atman
itu pada hakekatnya adalah tunggal. Menjadi pangkal dari pemahaman bahwa
sebenarnya sumber kehidupan manusia berasal dari TUhan, dengan mencintai Tuhan
maka Tuhan akan bersamamu; taatilah Tuhan dan ia akan memperlihatkan kepadamu ajaranNya
yang suci. Keadamaian dalam kehidupan bermasyarakat merupakan sesuatu yang
sangat diidam-idamkan dan menjadi tujuan dari setiap umat manusia. Kerjasama
dalam kehidupan social masyarakat social masyarakat sungguh menjadi suatu hal
yang sangat di perlukan dan dalam kehidupan beragam Hindu mempunyai peranan
yang sangat penting.
2. Nilai
Etika Sosial Budaya
Manusia menciptakan manusia dilengkapi
dengan akal pikirian, kemauan bebas dan perasaan hokum dan peraturan yang harus
ditaati oleh manusia dalam memperkembangkan hidup yang baik dan mewujudkan
kebahagiaan abadi. Manusia hidup di dunia untuk berbuat mengisi dan mengatasi
hidupnya tidak hanya di dunia saja. dan manusia sadar dengan apa yang ia
kerjakan untuk menentukan dan mengatur hidupnya. Dengan akal pikirannya manusia
mampu mengelola alam ini untuk di jadikan barang-barang bergunauntuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Dan manusia berusaha dengan akal pikirannya mengolah untuk
dapat menciptakan barang-barang sebagai hasil ciptaan yang disebut kebudayaan.
Dimana manusia mengubah dan mengusahakan (mengerjakan) kemungkinan-kemungkinan
jasmani dan rohani dari pada alam yang diciptakan oleh Hyang Widhi, disitulah
terdapat kebudayaan. Maka dapat dikatakan bahwa tuhan, telaga, angsa, air,
makanan, ikan, dan sebagainya adalah unsure alam. Di dalam kebudayaan
berbuatlah manusia sebagai manusia terhadap alam, ia membedakan dirinya dari
aam dan menundukannya. Sedangkan kebudayaan mempunyai hubungan timbale balik
dengan agama namun demikian, agama dan kebudayaan itu tidak sama. Hubungan
kebudayaan dan agama tidak statis namun dinamis selalu bergerak maju sesuai
dengan perkembangan dan peradaban yang ada. Pada kodratnya manusia mempunyai
berbagai kerinduan, kekuatan, daya/tenaga, yang harus diwujudkan dan
disempurnakan, yaitu:
1. Kemungkinan
badan, panca indra apabila diwujudkan dapat melahirkan, seni, olah raga dan
lain sebagainya.
2. Kemungkinan
pikiran menciptakan ilmu pengetahuan, tehnik, filsafat.
3. Kemungkinan
kehendak apabila disalurkan ke jalan yang benar akan menimbulkan tata susila.
Manusia
mempunyai kerinduan kepada sesame dan kepada Hyang Widhi Wasa, jika kerinduan
terhadap manusia diwujudkan maka akan melahirkan hidup bahagia, adat-istiadat,
bangsa dan Negara. Bilamana kerinduan terhadap Tuhan (kesadaran keagamaan)
disempurnakan maka timbul sembahyang, sradha dan bhakti yang dilandasi dharma.
Di
dalam masyarakat kebudayaan tdak lepas dari ilmu pengetahuan karena ilmu
pengetahuan sebagai pangkal berkembang tidaknya suatu tingkat hidup manusia.
Dengan ilmu pengetahuan maka manusia dapat memenuhi segala kebutuhannya, dan
dengan ilmu pengetahuan manusia bisa membahayakan dan menimbulkan bencana di
lingkungan mansyarakat tersebut. Maka untuk penyelarasan keadaan tersebut.
Agama memberikan tuntunan, dan arahan kepada seluruh umat manusia untuk
berjalan pada ajaran dharma tersebut. Sehingga tujuan yang menjadi cita-cita
hidup manusia dapat tercapai.
3. Etika
Sosial Ekonomi
Alam semesta diciptakan untuk memenuhi
kebutuhan manusia dan idpergunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan hiduup,
sehingga dalam kehidupan social ekonomi masyarakat perlu mengenal dan
menjalankan etika, sebagai bentuk karma yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha
Esa sebagai pencipta. Hakekat hidup manusia adalah kerja. Dalam hidup manusia
di dunia ia tidak dapat menghindarkan diri dari kegiatan kerja, karena kerja
adalah kodrat manusia. Dengan bekerja manusia dapat memenuhi kebutuhannya,
kerja yang dimaksud adalah kerja yang dilaksanakan tanpa mengharapkan imbalan,
tidak mengikat, sebagai contoh orang yang membuat jalan agar lalu lintas
menjadi lancara atau membangun rumah tetangga dengan bergotong royong. Gotong
royong yang dimaksud sebagai wujud kerja yang dilakukan dengan ikhlas, maka
orang tidak diikat oleh kehendak mendapatkan imbalan. Sebaiknya kerja
dilaksanakan dengn tujuan mendapatkan imbalan, maka pekerjaan itu akan
mengikat, yaitu orang diikat oleh harapannya untuk mendapatkan pahala yang
setimpal dengan jerih payah yang dicurahkannya dalam pekerjaan itu. Kerja
sebagai perintah yang diberikan kepada manusia baik itu tua, muda, pemuda,
rohaniawan dan sebagainya. Karena dengan melakukan kerja yang ikhlas adalah
suatu bentuk yadnya (korban suci). Orang yang bekerja hanya didorong keinginan
mendapatkan kebahagiaan dunia semata (jagadhita), tanpa dilandasi bakti kepada
Hyang Widhi, hanya akan mendapatkan kebahagiana sementara. Akan tetapi orang
yang bekerja dilandasi dengan cinta kasih dan bhakti kepadaNya dan tujuannya untuk
menyatukan Atman dengan Brahman, maka akan mendapatkan kebahagiaan abadi (sukha
tanpawali dukha). Mereka yang selalu mengikatkan diri pada materi, mereka
selalu gelisah, sebab di dalam materi tidak terdapat ketengangan hati dan
kebhagaiaan sejati. Tetapi orang yang menyadari bahwa materi itu hanya sekadar
merupakan alat untuk menata diri (mengatur diri), mereka tidak menetang materi
dan kaidah suci, karena keduannya tersusun secara hirerarkis. Materi sebagai
fondasi dan sarana hidup ini dan kidah suci adalah naungan abadi Hyang Widhi,
yang melindungi manusia dari perbuatan nista dan keji. Mereka yang mengetahui
hal tersebut akan selalu beriman (sradha) dan berlindung kepada Sang Hyang
Widhi, memepercayai kebenaran Hukum Karma.
4. Hak
dan Kewajiban
Tingkah laku manusia dapat terpaksa atau
terikat karena kekuatan lahiriah, dapat juga kekuatan batiniah kodratnya serta
kemauan yang memerintahkan, yang akhirnya menjadi keharusan moril. Kewajiban
moril bagi manusia adalah tujuan tertinggi yang disebut kebaikan tertinggi,
yakni Hyang Widhi Wasa.
Sebagai contoh: adalah sepasang angsa
yang mempunyai keinginan untuk berpindah tempat dari telaga yang airnya kering
menuju telaga yang airnya bening dan penuh. Hal inilah yang merupakan hak angsa
untuk terus hidup dengna berpindah tempat. Kewajiban yang dilaksanakan dengan
baik akan memberikan hak kepada pelaksanannya.
a. Hak
terhadap diri sendiri adalah wewenang moril untuk mengerjakan, meninggalakan,
memiliki dan mepergunakan sesuatu. Segala sesuatu dimana kita mempunyai hak
terhadapnya, kita mempunyai hak untuk hidup namun kita mempunyai kewajiban
untuk mencapai tujuan akhir yang didahului dengan kewajiban hidup sesuai dengan
hokum moral.
b. Hak
milik perorangan adalah hak untuk memperoleh barang duniawi, mengatur dan
memakinya untuk diri sendiri. Sebagai mahluk yang berakal dan berbudi, manusia
harus dapat bertanggung jawab atas kehidupannya. Sebagai penghasil manusia
adalah mahluk kerja dan menikmati hasil tersbut secara langsung.
c. Hak
hidup orang lain menurut kodratnya membunuh dilarang keras karena merupakan
pelanggaran hak perorangan untuk mempergunakan hidupnya dan pelanggaran hak
umum. Hokum alam memberikan hak hidup, sehingga memperbolehkan melindungi
hidupnya itu dengan mempergunakan cara yang menurut kodratnya tidak boleh.
Misalnya membunuh tidak boleh, akan tetapi bila hal itu terjadi dalam usaha
membela diri, maka tidak merupakan suatu dosa.
Kewajiban
dalam asti obyektif adalah keharusan moril untuk melakukan sesuatu atau
meninggalkannya. Kewajiban dalam arti subyektif adalah suatu yang harus
ditinggalkan dan dilaksanakan. Kewajiban adalah cita-cita yang termulia karena
kewajiban itu merupakan ide dari Tuhan. Masing-masing dibatasi oleh hak dan
kewajiban. Adapun macam kewajiban adalah:
a.
Kewajiban terhadap diri sendiri adalah
keharusan orang mencari tujuan akhir dengan melakukan perbuatan berlandasan
moral yang baik. Untuk melaksanakan orang harus hidup, jadi orang itu berhak
atas hidup sendiri di bumi ini. Tuhan adalah pengemudi tertinggi seluruh alam
semesta dan ia menentukan apakah manusia telah melakukan perbuatan baik yang
cukup untuk mencapai tujuan akhir. Oleh sebab itu manusia tidak mempunyai
kekuasaan langsung terhadap dirinya.
b.
Manusia diperbolehkan memperpanjang
hidupnya, karena dengan demikian dapat melaksanakan keuasaan tidak langsung.
Kekuasan tidak langsung itu berarti bahwa hidup ini hanya dipinjamkan oleh
Tuhan kepada manusia untuk dipergunakan memperbaiki perbuatan dan mencapai
tujuan akhir. Segala sesuatu harus dipikirkan untung rugi, baik buruk, karena kewajiban
hidup di dunia adalah untuk bekerja. Kewajiban juga tidak hanya terhadap sesame
manusia saja melainkan kepada Tuhan pun harus dilakukan. Kewajiban terhadap
Tuhan adalah Agama dan dapat diketahui oleh kodrat diri kita sendiri. Etika
menuntut supaya manusia mengakui kenyataan itu dalam tingkah lakunya. Agama
sebagai rumusan kewajiban terhadap Tuhan yang dapat ditinjau dari dua sudut;
sudut obyektif yaitu agama terdiri dari kebenaran yaitu manusia harus memuja
Tuhan Yang Maha Esa sebagai kesempurnaan tanpa hingga, pemujaan terhadap Tuhan
merupakan perbuatan jasmaniah dan rohaniah, karena setiap perbuatan manusia
berdasarkan pada tindakan yang timbul dari kemauan.
Didalam
cerita Cangkrangga wmang Durbudhi dapat diambil suatu penggambaran tentang
tingkah laku perbuatan manusia dalam memegang keteguhan hati, kesabaran,
nasehat dan juga pesan-pesan rohani yang semuannya bertujuan untuk kedamaian
dan keselamatan seluruh umat manusia. Berikut adalah sebagai petikan tetang
nilai yang mengandung pesan yang mempunyai nilai etika yang sangat tinggi,
adapun hal tersebut sebagai beriktu:
…… “haywa tan mategah denta manhut, nguni
weh haywa ngucap-ucap salwir ning kurungkalan, seoeng ning hulun humi beraken,
ri kia, haywa juga binaruhan dinta, yan hanca atakwana haywa juga sinahuran,
yekti ula hanta, haywa ta san pmituha pawuwus mami, kunai ka yan tan pamitu hu
warah mami, tan sidha tekeng don matemahan pati. (Cangkrangga Wmang Durbudhi,
Cet 1)
Sang angsa menyampaikan pesan kepada
kura-kura sebelum pergi dari telaga tersebut yaitu untuk tidak menghiraukan dan
tetap teguh dalam menggigit kayu, serta jangan menjawab bila di perjalanan ada
yang bertanya. Hal ini merupakan ajaran yang ditujukan terhadap semua orang
agar dalam mencapai sesuatu perlu konsentrasi atau pemusatan pikiran supaya
dapat sampai pada tujuan tersebut, jika dalam menjalankan tugas atau kewajiban
tersebut dilakukan dengan ceroboh dan gegabah maka tugas tersebut tidak akan
seleasi dengan mulus, sehingga sesuatu yang sudah direncanakan akan sia-sia saja.
Hati yang teguh maksudnya adalah tidak
terombang-ambing dalam keadaan dan kondisi apapun, sehingga hati, pikiran tidak
tergoyahkan dengan adanya godaan, rintangan yang dapat menggagalkan tujuan yang
sudah direncanakan. Dengan demikian manusia tidak dapat dengan seenaknya
melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan kehendak hatinya karena
dengan keteguhan dan tekad yang kuat segala sesuatunya akan dapat di capai dan
terwujud sesuai dengan apa yang dicita-citakan.
Dalam pergaulan hidup sehari-hari dan
displin itu sama sekali kita tidak bisa lepas. Terbukti sedikitpun kita salah
di dalam tingkah laku akan bisa menjerumuskan kita kelembah nista. Misalnya
saja kalau kita sudah terbiasa hidup minum-minuman keras atau mabuk-mabukan,
urakan di jalan pada etika dapat kita kembangkan dari sejak dini yaitu pada
masa kecil dan anak-anak. Sebab kalau dari kecil sudah membiasakn diri bersikap
tidak baik maka setelah dewasa akan terbawa-bawa kebiasaan buruk itu dan
kehidupannya tidak akan kalau dibiasakan dididik dan dibina di dalam
kehidupannya sehari-hari untuk berbicara yang baik dan benar, bersikap ramah
dan sopan kepada orang lain, hormat kepada orang tua maka anak itu akan menjadi
anak yang baik atau menjadi orang yang berbakti kepada orang tua, masyarakat,
bangsa dan Negara.
Demikian pula dengan disiplin atau teguh.
Keteguhan atau kedisiplinan yaitu melatih sikap dan watak agar dapat terlaksana
sikap taat dan jujur didalam tingkah laku manusia. Sama halnya dengan tersebut
diatas, di dalam pergaulan hidup sehari-hari disiplin itu perlu dikembangkan,
untuk mengantarkan hidup kita sehingga menjadi anak yang baik dan berguna bagi
bangsa dan Negara. Contohnya: di dalam melakukan sesuatu kita harus teguh iman,
tahan dengan godaan meskipun apa yang terjadi kita harus tetap teguh dengan
pendirian kita sendiri. Sebab setiap melakukan sesuatu selalu ada godaan. Bila
seseorang senantiasa mengikuti kebenaran, maka hidupnya akan selamat dan
sejahtera terhindar dari bencana, memperoleh kebijaksanan dan kemuliaan.
Kebenaran dan kejujuran dapat dilaksanakan dengan mudah, apabila seseorang
sudah terbiasa hidup disiplin, jujur, dan memiliki keyakinan yang bersumber
pada ajaran agama. Dengan keyakinan dan disiplin ini seseorang akan mantap
bertindak di jalan yang benar, menuju yang benar. Sebab sifat lemah, tidak
mempunyai pendirian tetap yang timbul pada diri sesorang yang tengah menghadapi
krisis dalam mengambil sikap penuh resikao, kesungguhannya diidentikan dengan
sifat yang tergolong tidak utama, orang yang disiplin dan teguh pikirannya
dapat merasakan sama antara susah dan senang, orang seperti inilah dapat hidup
kekal dan abadi.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimak
maknanya bahwa, etika dan disiplin atau keteguhan hati merupakan ketaatan dan
kejujuran tingkah laku yang dibuat oleh manusia, dipatuhi dan ditaati untuk
kepentingan dalam hidup pergaulan manusia sehari-hari guna membina watak
manusia agar menjadi keluarga yang baik, anggota masyarakat yang baik, menjadi
manusia yang berkeperibadian mulia dan membimbing umat Hindu dalam usaha
menciptakan hubungan yang harmonis dan selaras antara manusia dengan manusia,
manusia dengan lingkungan alam semesta dan antara manusia dengan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dengan berbagai manifestasinya. Terciptanya
hubungan yang harmonis dan selaras merupakan salah satu landasan terwujudnya
kehidupan yang nyaman, rukun, damai dan sentosa, sehingga tercapainya tujuan
umat Hindu. Peranan cerita Cangkrangga dan Durbudhi dalam peningkatan etika dan
disiplin dikalangan umat Hindu pada hakekatnya adalah dipengaruhi oleh desa
(tempat), kala (waktu) dan patra (aturan) keadaan social ekonomi. Kata teguh
atau disiplin kalau kita kaitkan dengan ajaran Asta Brata yaitu mengenai
delapan disiplin kepemimpinan seseorang pemimpin pemerintah. Asta artinya
delapan, sedangkan brata artinya tugas kewajiban, azaz/laku. Adapun bagiannya
adalah Indra Brata, Yama Brata, Surya Brata, Candra Brata/ Sasi Brata,
Anila/bayur Brata, Dhanada/Kwera Brata, Baruna Brata dan Agni Brata/Bhani Brata
(L Mardiwarsito, 1990; 86). Jadi Asta Brata adalah delapan sikap mental
disiplin merupakan ajaran Sri Rama kepada Gunawan Wibisana dalam memegang
tampuk pimpinan Negara yang terdapat di dalam Kitab Ramayana, Asta Brata
tersebut juga diajarkan dalam kitan hokum Hindu yang disebutkan dalam Manawa
Dharma Sastra.
Manusia sadar atau tidak bahwa manusia
mempunyai kecenderungan sifat baik (sifat Dewa) Dewi sampat (Budhi mulya) dan
kesenderungan sifat tidak baik, sifat raksasa (Asuri sampat). Hal ini diakibatkan
oleh badan manusia yang terdiri dari unsure purusa yaitu adanya atman sebagai
unsure antakarana sarira atau badan penyebab, dan unsure pradana yaitu badan
kasar atau stula sarira yang terdiri dari panca maha butha yang tidak mempunyai
kesadaran. Pertemuan antara Purusa (atman) dengan badan menyebabkan manusia
hidup dan memiliki kesadaran dan perasaan yang biasa di sebut dengan badan
rohaniah atau stula sarira, atau Citta yang memiliki tiga kekuatan yaitu:
a. Bhudhi
yaitu alam kesadaran yang cenderung pada kebaikan, yang menyebabkan segala
keputusan yang keluar dari Budhi ini mengarah pada keputusan yang bersifat
baik, budhi luhur, sifat kedewasaan.
b. Ahamkara
yaitu alam kesadaran manusia yang cenderung pada egois, yang menyebabkan segala
keputusan yang keluar dari ahamkara ini bersifat egois, mementingkan diri
sendiri bersifat keraksasaan (Asuri sampat).
c. Manah
yaitu alam pikiran yang menyaring segala input untuk diolah kemudian
dikeluarkan menjadi sebuah keputusan out put. Pikiran inilah yang dipengaruhi
oleh budhi dan ahamkara tergantung mana yang lebih kuat, bila budhi lebih kuat
mempengaruhi pikiran maka keputusan yang keluar adalah bersifat baik, demikian
sebaliknya bila ahamkara lebih dominan mempengaruhi pikiran maka keputusannya
cenderung lebih mementingkan diri sendiri.
Selain
itu pikiran juga masih dipengaruhi oleh tiga sifat Triguna, yaitu:
a. Guna
Satwam yaitu sifat yang cenderung mengarah pada sifat ringan, menyenangkan,
lemah lembut, merasa puas.
b. Rajas
yaitu sifat yang cenderung mendatangkan gerak, aktif, hal ini yang menyebabkan
manusia kadang-kadang cenderung untuk bergerak cepat.
c. Guna
Tamas yaitu sifat yang menyebabkan manusia sering bersifat malas, masa bodoh,
keras, menetang menyebabkan timbulnya kebingunan.
B.
Bentuk Penerapan Nilai Dalam Kehidupan Sehari-hari
Selain sifat dasar yang mempengaruhi
manusia juga terdapat beberapa tingkah laku yang merupakan suatu bentuk
perwujudan dari nilai etika itu sendiri, hal ini dapat diwujudkan dalam
beberapa hal yang merupakan perwujudan yang dilaksanakan dalam bentuk Tri Kaya
Parisudha, Tat Twam Asi, Yama, Nyama Brata dan sebagainya di kehidupan
sehari-hari antara lain:
a. Tat
Twam Asi
Tat
Twam Asi berarti aku adalah engkau, engkau adalah aku. Kalimat ini mengandung
maksud bahwa kita wajib dan harus mengasihi orang lain sebagaimana kita
menyayangi diri sendiri. Inilah dasar utama untuk mewujudkan masyarakat yang
Canti (damai) dan Kerta ( makmur). Tat Twam Asi berarti selalu mengutamakan
cinta kasih, bhakti dan rela beryadnya (berkorban). Dari perkataan tersebut
berarti bahwa semua mahluk adalah sama yang berasal dari ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa. Dalam kitabBhagawadgita dikatakan bahwa Atman memberikan hidup pada
semua mahluk dan juga menggerakan alam semesta sehingga disebut dengan
Paramatma.
Kalau di umpamakan atman itu sebagai
sinar matahari yang menyinari semua tempat, sedangkan paramatma atau HYang
Widhi ibaratnya sebagai dasar maka bermakna Hyang Widhi yang ada di mana-mana
dan tunggal yang menjadi dasar hidup bagi semua ciptaanya.
Demikian setiap kehidupan berasal
dari satu yaitu Hyang Widhi, oleh karena itu setiap manusia harus mampu hidup
berdampingan secara rukun, saling tolong menolong dan bantu-membantu. Tat Twam
Asi merupakan dasar ajaran Etika (tingkah laku) yang baik dan benar yang
diajarkan dalam agama Hindu. Ajaran ini ditanamkan kepada seluruh umat, supaya
memiliki kepribadian bahwa apabila menyakiti orang lain berarti menyakiti diri
sendiri dan menolong orang lain berarti menolong diri sendiri. Ajaran yang
trekandung dalam hal ini antara lain :
1. Cinta
Kasih
Cinta kasih yang
dimaksud disini adalah merupakan cinta kasih sejati yang ditandai cinta kepada
kebenaran dan kebaikan, maka menjadi kewajiban setiap orang untuk berbuat baik
dan benar. Dalam hal ini setiap umat manusia mempunyai kewajiban yang harus
dilakukan dalam dirinya yaitu menanamkan cinta dan kasih terhadap segala mahluk
ciptaannya. Cinta kasih inilah yang membawa manusia dalam tingkatan hidup yang
lebih tinggi dan merupakan wujud nyata dari pengamalam dari pada Weda itu
sendiri.
Ajaran Tat twam Asi akan membentuk moral seluruh umat manusia
agar menyayangi semua ciptaan Tuhan, karena manusia saling membutuhkan satu
sama lain. Apabila dapat dipahami dengan baik maka kehidupan di dunia ini akan
rukun dan selalu ada rasa damai.
2. Bhakti
Bhakti berarti
perwujudan hati nurani yang ditujukan
kepada semua orang serta Tuhan Yang Maha Esa. Selain pengertian tresebut bhakti
juga berarti menyalurkan atau mencurahkan cinta yang tulus dan luhur kepada
Hyang Widhi Waca, Negara, Bangsa, Guru dan orang tua serta orang yang lebih
tua. Perwujudan rasa bhakti dapat berupa perbuatan yang tulus ditujukan kepada
seseorang tanpa pengharapan sesuatu imbalan. Bhakti dapat dibagi menjadi dua
tingkat yaitu apara bhakti dan para bhakti. Adapun yang dimaksud apara bhakti
adalah cinta kasih yang perwujudannya masih rendah, dan dilakukan oleh mereka
yang mempunyai tingkat penahanan dan pemahaman kesucian batin yang belum
tinggi. Tingkatan bhakti ini misalnya umat rajin sembahyang dan rajin membuat
sesaji baik di Pura maupun di rumah tepat pada waktunya. Sedangkan yang
dimaksud dengan para bhakti adalah cinta kasih lebih tinggi yang dilakukan oleh
umat dengan tingkat kesuciannya dan pemahaman agama lebih tinggi.
Selanjutnya dalam menanamkan ajaran Bhakti kepada seluruh umat
dalam membentuk moral ada beberapa bentuk Bhakti, yang disebut Bavabhakti yang
ditulis dalam buku Pendidikan Agama Hindu untuk Perguruan TInggi, yaitu sebagai
berikut:
1. Bhakti
kepada Sang Hyang Widhi, yaitu wujud bhakti yang dihaturkan kepada Sang Hyang
Widhi yang memancarkan sinar-nya kepada semua mahluk yang menyebabkan adanya
hidup dan kehidupan di dunia ini. Hyang Widhi menciptakan alam semesta ini
dengan meyadnyakan diri-Nya. Tuhan menciptakan manusia karena cinta kasih-Nya,
oleh karena itu kita harus menaruh kasih kepada Tuhan (kasih balas) yang
dilandasi dengan rasa Bhakti.
2. Bhakti
kepada orang tua yaitu bhakti yang dihaturkan kepada orang tua yang melahirkan,
mendidik dan membesarkan sehingga menjadi dewas dan mampu berdiri sendiri serta
sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebab itu setiap orang wajib dan harus
berbakti kepada orang tua dengan selalu memenuhi permintaannya, menjalankan
perintahnya dan menyenangkan hatinya.
3. Bhakti
kepada guru yaitu wujud bhakti yang ditujukan kepada Guru yang mempunyai tugas
yang sangat mulia, yaitu meningkatkan kemajuan masyarakat untuk kemajuannya.
Oleh karena itu setiap orang/ siswa wajib bhakti/ hormat kepada gurunya dengan
senantiasa menuruti nasehatnya dan berbuat baik kepadanya.
4. Bhakti
kepada Bangsa dan Negara yaitu bhakti yang ditujukan kepada bangsa dan Negara
yang selalu siap sedia mengorabankan jiwa dan raga untuk menegakan kemerdekaan,
mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan golongan atau perorangan.
Dalam usaha untuk memerdekakan diri dari belenggu awidya dan melepaskan diri
dari reinkarnasi (Punarbhawa), orang harus dapat mengalahkan musuh yang ada
pada diri kita.
Bhakti
memiliki peran yang cukup, dalam usaha menanamkan pendidikan moral dan etika
kepada umat Hindu khususnya dan seluruh umat manusia pada umumnya.
b. Tri
Kaya Parisudha
Tri
Kaya Parisudha adalah tiga perbuatan yang harus ditanamkan dalam pendidikan
moral etika pada masyarakat sejak dini. Tri Kaya Prisudha terdiri dari:
1. Manacika,
artinya pikiran yang baik.
2. Wacika,
artinya perkataan yang baik.
3. Kayika,
artinya perbuatan yang baik.
Manacika
ialah gerak pikiran yang perlu disucikan, bila diperhatikan benar-benar segala
perbuatan manusia selalu bersumber dalam pikiran. Dari pikiran yang baik.
Akan
timbul perkataan dan perbuatan yang baik pula, begitu sebaliknya pikiran yang
buruk akan timbul perkataan dan perbuatan yang buruk pula, ini harus
dihindarkan dari anak-anak. Manacika memiliki peranan agar anak-anak dapat
berpikir yang baik sehingga tertanam pula dalam pikiran anak itu pula, yaitu:
1. Tidak
menginginkan/dengki pada milik orang lain.
2. Tidak
marah kepada sesame mahluk.
3. Percaya
akan kebenaran ajaran Karma Phala.
Wacika
adalah perkataan yang harus disucikan, dengan berkata yang baik dan benar pada
anak akan timbul dari dalam dirinya ucapan santun baik kepada orang tua,
saudaranya dan orang lain. Untuk dapat terwujud pada anak perlu ditanamkan
supaya:
1. Tidak
berkata jahat dan mencaci-maki
2. Tidak
berkata kasar dan menghadrik
3. Tidak
memfitnah
4. Tidak
bohong
Kayika
adalah perbuatan atau tingkah laku yang harus disucikan, tingkah laku juga
menjadi cerminan dari mental anak. Dengan perbuatan yang baik anak dapat
dikendalikan dari perbuatan yang dilarang agama, seperti:
1. Membunuh
atau menyiksa.
2. Mencuri,
melakukan kecurangan terhadap harta benda orang lain.
3. Berzina,
memperkosa dan melakukan kekerasan lainnya.
Dengan
menjalankan ajaran Tri Kaya Parisudha dengan baik dan benar, diharapkan agar
hidup ini bahagia dan memiliki mental baik.
H.
Nilai
Pendidikan Tattwa Pada Cerita Cangkrangga Wmang Durbudhi
Tattwa
berasal dari kata tat berarti
kebenaran mutlak atau Tuhan. Sedangkan twa
memiliki sifat. Jadi tattwa adalah
yang memiliki sifat atau hakekat kebenaran mutlak. Jadi kebenaran mutlak yang
terdapat dalam cerita Cangrangga wmang Durbudhi antara lain:
1. Adanya
sebuah kolam sebagai tempat tinggal serta tempat mencari kehidupan. Hal ini
sebagai sumber kehidupan yang disediakan oleh alam.
2. Adanya
kura-kura dan angsa sebagai wujud kehidupan dalam masyarakat yang hidup saling
berdampingan satu dengan yang lainnya.
3. Adanya
perpindahan dari kolam yang kering menuju ke kolam yang airnya bening dan tak
pernah surut. Hal ini merupakan penggambaran sebagai hal etos kerja yaitu
adanya peningkatan dari hal yang kurang baik menuju hal yang baik yang bisa
disebut juga dari neraka menuju surga.
4. Adanya
bunga teratai sebagai simbul kesucian yang meruakan penggambaran stana Tuhan
dalam wujud asta dala.
5. Adanya
anjing sebagai simbul kesetiaan. Hal ini digambarkan dengan sabarnya dibawah
pohon untuk mendapatkan makananya sebagai wujud phala dari karma yang
dilakukannya.
Dengan
menelaah dan menerapkan nilai yang trekandung dalam cerita tersebut diatas
diharapkan bagi umat manusia pada umumnya dan umat Hindu pada khususnya agar
dapat mewujudkan apa yang menjadi tujuan serta keinginannya yaitu terciptanya
kehidupan yang damai aman, sejahtera lahir dan bathin. Oleh karena itulah hal
ini tidak terlepas dengan peran semua pihak dan adanya kerja sama antara satu
dengan yang lainnya sehingga tujuan hidup manusia yaitu “Moksartham Jagadhitaya
Ca Iti Dharma” dapat tercapai.
I. Kesimpulan
Dari
uraian tersebut maka penulis dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa
nilai hal-hal yang berguna bagi umat manusia terdapat dalam cerita Cangkrangga
wmang Durbudhi yang mampu meningkatkan kedewasaan seseorang di bidang
kecerdasan, moral, sehingga mampu menganalisa nilai yang terdapat dalam Tantri
Kamandaka umumnya dan cerita Cangkrangga wmang Durbudhi khususnya, yang
menjadikan dirinya lebih dewasa dalam melihat, menganalisa dan memecahkan masalah
2. Bahwa
nilai yang terdapat dalam cerita Cangkrangga wmang Durbuhdi meliputi:
a. Nilai
etika seperti rasa kasih saying, perbuatan baik dan buruk.
b. Adanya
sumber kehidupan yaitu kolam Kumudawati yang keruh dan kering dan kolam
Manasasara yang airnya bening dan penuh adalah sebagai simbul dari dua
kekuatan, baik dan buruk.
c. Kura-kura
yang tidak bisa mengendalikan diri sehingga jatuh dan akhirnya mati adalah
sebagai simbul neraka, sedangkan angsa yang mempunyai keteguhan dalam pendirian
sehingga dapat mencapai tujuannya maka sebagai symbol dari sorga.
3. Cerita
Cangkrangga mwang Durbudhi menekankan pada pengendalian diri terutama tentang
pikiran, karena pikiran itu adalah sumber dari perbuatan yang baik, maka selalu
diusahakan untuk berpikir yang bersih dan suci dalam menjalani hidup ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adia
Wiratmaja, G.K, Etika Tata Susila Hindu Dharma, Magelang, 1975.
Agastama,
Ida Bagus, dkk, Simbul Penyadaran dan Pencerahan, TU Warta Hindu Dharma, Denpasar, 1997.
Agung
Oka, I Gusti, Slokantara, Hanoman Sakti, Jakarta, 1992.
BP
7 Pusat, Buku Materi Penataran P4.
BP
7 Pusat, GBHN, 1993.
BP
7 Pusat, Tap MPR, 1993.
Dinas
Pendidikan dan Kebudayan Propinsi Daerah Dati 1, Tantri Carita (Nandhaka
Harana), Bali, 1986
Hadi
Wijaya, Sarwa Castra, Bali, 1970.
Hendropuspito.
D. Sosiologi Agama. Malang : Penerbit Knisius, 1984.
Kajeng,
I Nyoman dkk, Sarasamucaya, Surabaya: Paramita, 1999.
Mantra,
IB, Tata Susila Hindu Dharma, Jakarta, 2002.
Mardiwarsito,
L, Tantri Kamandaka (naskah danterjemahan dan glosarium), Jakarta, 1983.
Maswinara,
I Wayan, Bhagawadgita, Jakarta, Paramita, 1997.
Pudja,
Gede, Pengantar Agama Hindu III Veda,
Surabaya: Penerbit Paramita, 1998.
Putra,
I.G.A.G, dan I Wayan Sadia, Wrhaspati Tattwa, Surabaya: Penerbit Paramita, 1998.
Sanapiah,
Faisal. Metodologi Penelitian Pendidikan, Surabaya: Penerbit Usaha Nasional,
1982.
Sivananda,
Sri Swami. Intisari ajaran Hindu, Surabaya: Penerbit Paramita, 1993.
Subari,
supervise Pendidikan Dalam rangka Perbaikan Situasi Mengajar, Jakarta, Bumi
Aksara, 1984.
Suryosubroto
B, Beberapa Aspek Dasar-dasar Kependidikan, Yogyakarta: Penerbit Rineka Cipta,
1982.
Titib,
I Made, Weda Sabda Suci, Surabaya: Paramita, 1998.
Titib,
I Made, Untaian Ratna Sari Upanisad, Denpasar: Penerbit Yayasan Dharma Naradha,
1994.
Wasminara,
I Wayan, Swarga Rahnika Parwa, Surabaya, Parmita, 1999.
Yayasan
Sanatana Dharma Srama, Inti Sari Ajaran Hindu, Paramita, Surabaya, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar