Oleh:
I Gusti Agung Ayu Dwi Septiani
Teacher At
Sevila
Ada kisah lisan yang
dituturkan turun temurun mengenai Dewi Tara. Legenda dimulai dengan pengadukan
samudra susu yang dilakukan oleh para dewa dan raksasa. Dari
proses pengadukan samudra susu, munculah racun mematikan yang kemudian diminum
oleh Dewa Siwa untuk menyelamatkan dunia dari
kehancuran. Setelah meminum racun tersebut, lehernya menjadi biru dan
kekuatannya melemah. Lalu Tara muncul dan memangku Siwa. Tara menyusuinya, dan
air susu yang dihasilkannya berhasil menjadi penawar racun sehingga Siwa
siuman.
Versi lainnya mengatakan Tara adalah nama
puteri Sri Dharmasetu dari Wangsa Soma. Dari perkawinannya dengan Samaragrawira raja Wangsa Sailendra (sekitar 802–819), ia melahirkan Balaputradewa yang menjadi raja Kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan berita
tersebut, Sri Dharmasetu pun dianggap sebagai raja kerajaan Sriwijaya, atau dengan kata
lain, Balaputradewa mewarisi takhta dari
kakeknya tersebut.
Kisah tentang Dewi Tara juga dapat kita
temui dalam epos Ramayana. Dalam epos tersebut diceritakan Dewi Tara menikah
dengan Sugriwa, seorang raja wanara dari Kerajaan Kiskenda yang bersaudara dengan Subali. Atas adu domba yang dilancarkan Rahwana, Subali pun mengusir Sugriwa dan menikahi Tara.
Dari perkawinan kedua itu, Tara melahirkan Anggada. Sugriwa mendapat bantuan dari Rama dan berhasil mengalahkan Subali. Ia kemudian kembali menjadikan Dewi Tara sebagai istrinya.
Dalam kisah
pewayangan, Dewi Tara adalah bidadari, putri sulung dari Batara Indra, yang
kemudian oleh Batara Guru diberikan kepada Sugriwa, putra Resi Gotama, sebagai
hadiah atas jasanya kepada Subali, saudara kandungnya sendiri, atas jasanya
telah berhasil membunuh Prabu Maesasura dan Jatasura dari kerajaan Gua
Kiskenda. Tak lama menjadi istri Sugriwa, Dewi Tara berhasil direbut oleh
Subali atas hasutan Prabu Dasamuka, raja Alengka.
Setelah Subali
tewas terbunuh oleh panah Gowawijaya milik Ramawijaya, Dewi Tara kembali
menjadi istri Sugriwa. Dan setelah Sugriwa meninggal, Dewi Tara kembali ke
asalnya, yaitu menjadi bidadari di kerajaan Kaindran, kerajaan dewa ayahnya,
Batara Indra.
Bila kemudian
dihubungkan dengan Dewi Tara yang di arcakan di negeri Tibet, hal ini
karena waktu abad 11, yaitu 3 abad setelah berdirinya Candi Kalasan
tersebut, datanglah Yang Mulia Atisa dari hindia Timur Laut, dan tinggal di
kerajaan Sriwijaya utnuk berguru pada Guru Darmakirti, dan menjadikan Dewi Tara
sebagai objek meditasi, dan keduanya pun kemudian “berhasil “ melihat wajah
dari Sang Dewi Tara.
Dalam agama
Hindu Tara (Sanskerta : तारा; Tārā)
adalah dewi yang kedua di antara sepuluh Mahawidya (Dewi
Kebijaksanaan). Menurut tradisi Tantra, ia merupakan penjelmaan dari
Mahadewi, Kali atau bahkan Parwati.
Kisah Dewi Tara Dalam Pewayangan
Sepasang duda di gunung Maliawan. Wajahnya sendu.
Keduanya bergerak ke Istana Guakiskenda. Jaraknya masih bergunung-gunung. Nun
di balik gunung terakhir, di bekas istana raja raksasa Maesasura itu
bersinggasana Resi Subali. Sosoknya kera. Matanya tajam. Dan ia sakti. Dasamuka
dan Dewa Indra di kahyangan bahkan takluk. Permaisuri Resi Subali itulah Dewi Tara.
Dewi Tara…Dewi Tara..Putri Batara
Indra. Engkaukah itu, perempuan ayu yang mendudakan banyak lelaki?
Duda pertama Sugriwa namanya, adik kandung Resi
Subali. Wujudnya jugarewanda, monyet. Ia pun sakti. Tak aneh, keduanya
putra Resi Gotama yang digdaya di Gunung Sukendra. Namun sesakti-sakti Sugriwa
apalah artinya dibanding Subali.
Tendangan sakti Sugriwa di hari budha alias
Rabu dahulu telah meluluhlantakkan Subali di atas tanah. Lihatlah! Aji
Pancasonya membangkitkan Subali kembali hidup. Begitu mayatnya menyentuh bumi,
Subali kembali gumregah segar bugar. Seketika ia banting
Sugriwa. Sugriwa menyerah, sekaligus wajib menyerahkan istrinya, Dewi Tara,
menjadi istri sang kakak.
Kini tinggal segunung lagi perjalanan sepasang duda ke
Guakiskenda, di balik gugusan kabut, istana pengantin baru Subali-Dewi Tara.
Kepada diri sendiri yang sedang dilanda sunyi Sugriwa bertanya, ”Sanggupkah
bersama pertolongan duda yang baru kukenal di sebelahku ini…hmmm… Sanggupkah
aku merebut Dewi Tara dari rengkuhan kakakku?”
***
Ponokawan Petruk juga
bertanya, kok Wayang Durangpo hari ini nggak adangawur-ngawurnya
babar blas ya. Nggak kritik sana nggak kritik
sini. Mana bahasanya sok tertib lagi, kayak orang-orang
manis di universitas.
”Mungkin karena dalang sudah
merasa nggak ada gunanya lagi ngritik, Truk,”
celoteh Bagong, bungsu ponokawan. ”Kan kritik hanya mempan ke orang
yang masih punya malu. Padahal kita sudah lama paceklik isin,
kehabisan rasa malu. Pamong daerah yang sudah dua periode mimpin,
masih mau tanduk lagi. Kalaundak gitu, ndorong-dorong istri-istrinya
jadi pemimpin baru.”
”Belum lagi, Truk, wakil rakyat,
gaji wis sak langit, masih minta dana ini-itu.Abis itu
penegak hukum nggak idep isin punya rekening gemuk,
tambah ndakmalu lagi malah ingin menyelikidi siapa
yang main bocorkan nomor rekening.Tak pikir-pikir setelah semua itu
kita terus tobat, kembali punya kerasamaluan. Eh, belum. Konco-konco yang ngurus sepak
bola, sudah tahu sepak bola kitadedel duwel, perlu perhatian perlu duit
perlu ini-itu yang diperlukan buat perbaikan, malah duitnya diperlukan untuk
jalan-jalan rombongan ke Afrika Selatan.”
Gareng si tukang analisis mencoba
tak turut larut dalam problem sosial. Sulung ponokawan ini mencari-cari
kemungkinan lain. ”Wayang Durangpo bisa saja jadi kayak sekarang
karena ”Batara” Arief Santosa. Pukulun itu dewa dari Kahyangan
Graha Pena yang menjaga rubrik ini dan ngasih kemerdekaan.
Katanya ndak harus ada kritik sosial. Kalau memang lagi ndak
mood ngritiksosial, ya ndak usah dipas-paskan dengan
peristiwa sosial. Berdiri sendiri saja. Begitu dawuhnya Kanjeng
Batara. Dan ndak usah mikir macem-macem. Dalangkan juga
manusia. Siapa tahu Wayang Durangpo bisa jadi kayak sekarang
ini karena dalangnya lagi jatuh cinta kepada anake sing dodol rujak
cingur…”
***
Ooo…Cinta…cinta adalah seluruh keherananku kepada
manusia...(kutipan syair
Afrizal Malna)
Sugriwa ingin lebih banyak mengadu pada duda yang baru
dikenal di sebelahnya. Tetapi bagaimana caranya? Lelaki tampan itu juga
terlunta-lunta, baru saja kehilangan istri di hutan Dandaka. Bagaimana Sugriwa
akan menumpahkan perasaannya pada lelaki yang matanya sedang menerawang tak
tentu langit? Malah lelaki ini kadang bercakap-cakap kepada akar dan perdu,
tersenyum dan sesenggukan, seakan pohon dan dedaunan adalah mantan istrinya
yang berdenyut di dalam hutan.
Suatu fajar, sorot matahari bermasukan dari sela-sela
rerimbun hutan membentuk jutaan benang cahaya, lengkap dengan semburat
warna-warninya pada kolang-kaling, langsep, jambu bol, kedondong, blimbing
wuluh, dan lain-lain, lelaki tampan itu siuman dari gandrung-nya.
Ia ingin berbagi pada Sugriwa. Bagaimana rasanya pernah memiliki istri setia.
Baru manten anyar, lelaki ini diusir ke tengah hutan. Lelaki itu
bergegas pergi sendiri ke belantara karena tak ingin menyusahkan istri. Tapi
sang istri nangis-nangis bergelayutan nggondelisuaminya
terkasih, minta diajak serta. Ia tak tega suaminya sendirian di kelembaban yang
asing. Hari-hari mereka lalui berdua di peraduan hutan sampai tiba-tiba sang
istri lenyap.
Lelaki yang baru tersadar dari kasmaran itu tak bisa
menumpahkan segalanya kepada Sugriwa karena, seperti bergiliran, Sugriwa kini
malah sedang dilandakunjana papa. Kunjana sakit. Papa edan.
Sugriwa kelimpungan pada mantan istrinya, Dewi Tara.
”Sugriwa, aku akan membela kamu. Bisa kuhayati sebeban
apa rasa dipisahkan dari perempuan tercinta…”
”Aku yang akan membelamu, hei lelaki!!!” teriak
Sugriwa, ”karena telah aku alami beban terpisah dari wanodya yang
kita cintai…”
Sehabis teriak tiba-tiba Sugriwa terbahak-bahak,
tiba-tiba menangis. Ada ular, dipeluknya ular. Dielus-elus dan diciuminya taksaka itu
seakan-akan ia Dewi Tara.
”Oh, Dewi Tara,” desah Sugriwa selepas rangkulannya
dari sang ular. Ia kini memeluk singa, berbincang kepadanya. ”Dahulu tak salah
aku nikahi kamu, Tara. Batara Indra janji, siapa sanggup membunuh Maesasura dan
tunggangannya, Jatasura, akan mendapat cintamu sebagai anugerah. Kakakku Subali
masuk ke istana megah yang mulut gerbangnya bagaikan gua mengerikan itu. Aku
tak boleh masuk. Aku disuruh menunggu di depan mulut gua. Kakakku Subali yang
berdarah putih itu bersabda, kalau nanti mengalir darah putih di mulut
gua, berarti aku yang mati. Tutup lekas-lekaslah pintu gua, agar
semuanya mati di dalam gua…”
Kini Sugriwa memindahkan dekapannya pada trenggiling.
Di matanya, hewan ini adalah sang dewi yang tiada tara. ”Aku sayang banget sama
kamu, Tara. Aku lanjutkan ceritaku, ya Tara. Ternyata yang mengalir di mulut
gua darah merah dan putih. Sedih sekali kakakku mati. Aku segera naik ke
kahyangan melapor Batara Indra. Saking bahagianya atas kematian pengacau
kahyangan Maesasura dan Jatasura, Batara Indra menghadiahkan putrinya sebagai
istriku…”
Bagai lolong serigala Sugriwa lalu berteriak kepada
sulur-sulur rimba, mengagetkan perkutut, betet, drekuku, sriti, murai, dan
blekok. ”Oooo Mas Budionoooo, Mas Budionoooo...tulung gambar
ilustrasi Wayang Durangposekarang yang romantis banget ya….bagai
tembang Dhandhanggula Sidoasih…
Pamintakuuuuu…Nimas Sidoasiiiih…Anut runtut tansah
reruntungaaaaan…..”
***
Yang tewas di Guakiskenda ternyata cuma Maesasura dan
Jatasura. Yang putih-putih bukan darah Subali. Warna putih hanya ceceran otak
raksasa dan tunggangannya. Subali ngamuk. Pintu gua didobrak,
dijebolnya. Ia banting Sugriwa hampir mati. Untung adik yang dicintainya itu
masih sempat meruntutkan apa yang sesungguhnya terjadi. Hati Subali luluh. Ia
serahkan istana Guakiskenda. Didoakannya pula pernikahan Sugriwa-Dewi Tara
langgeng di dalam cinta.
Tapi Rahwana menyusupkan Wil
Sukasrana. Mata-mata ini berubah rupa menjadi inang pembantu Dewi Tara. Suatu
hari inang pembantu Dewi Tara itu mengarang-ngarang cerita. Ia mengada-ada dan
mengadu pada Subali bahwa Dewi Tara dipukuli Sugriwa. Pasalnya, Dewi Tara
merasa, yang berhak menikahinya adalah Subali, karena Subalilah yang berhasil
membunuh Maesasura dan Jatasura.
Amuk! Amuk! Amuk!
Subali menggempur istana
Guakiskenda. Ia hajar habis adiknya yang tak tahu apa juntrungannya tiba-tiba
dihajar. Sugriwa lalu dilemparnya hingga jatuh ke Gunung Wreksamuka di sekitar
Maliawan. Hari itu juga Dewi Tara direbutnya sebagai istri bahkan hari ini
telah mengandung anaknya.
Dan hari ini, sepasang duda itu telah sampai di mulut
Guakiskenda. Sugriwa menyumbarkan tantangan. Subali keluar. Peristiwa dulu-dulu
terulang kembali. Subali berkali-kali membanting Sugriwa. Saat Sugriwa makin
sekarat, tatkala Subali terakhir akan membantingnya, rongga dada Subali panas
dadakan. Mendidih. Ada panah nancap di situ dan melontarkan Subali mengambang
tak menyentuh bumi.
”Panah kamukah ini, Kisanak?” tanya Subali
tersengal-sengal kepada lelaki yang tiba bareng Sugriwa. ”Tak pangling lagi
aku. Hanya panah Guwawijaya yang akan sanggup menyudahiku. Ini pusaka dari
Ayodya. Jadi, kamu Prabu Ramawijaya?”
Mestinya Sugriwa kaget mendegar bahwa duda teman
seperjalanannya ternyata titisan Batara Wisnu. Tapi badannya yang nyaris remuk
masih menahan sakit sambil memandangi Dewi Tara. Siapa yang ditangisi sang
dewi? Dirinya yang babak belur? Atau waspa Dewi Tara itu
sejatinya menetes untuk yang baru wafat, tapi mengapa Wisnu lebih ingin Tara
kembali kepadaku?
Duda yang satu lagi tak sempat mendengar namanya
disebut-sebut oleh Subali sebelum tewas. Ia juga tak tahu bahwa sikapnya sedang
direnung-renungkan oleh Sugriwa. Jiwanya masih terhuyung-huyung pada cintanya
yang telah lenyap.
Versi
Kisah Dewi Tara Dalam Ramayana
Disebuah goa dekat gunung himawa, hidup seorang
raksasa yang sangat sakti bernama Mahesa Sora. Yakin akan kesaktiannya ini maka
timbul niatnya untuk menyerang keindraan, dengan dalah melamar Dewi Tara putri
Dewa Indra. Dewa Indra yang sudah tentunya tidak setuju atas lamaran raksasa
ini, menolak akibatnya terjadi perang antara pihak Mahesa Sora dan pihak
keindraan. Merasa Hyang Indra akan kalah, cepat-cepat ia atas petunjuk
pendeta Briaspati minta bantuan Subali dan Sugriwa yang diam di gunung Semi,
dengan perjanjian bahwa yang dapat mengalahkan Mahesa Sora akan mendapatkan
hadiah Dewi Tara sebagai istri.
Subali, Sugriwa menyanggupi dan segera berangkat
keindraan melawan Mahesa Sora. Mahesa Sora yang merasa tidak mampu menghadapi
lawannya, segera lari meninggalkan keindraan, bersembunyi di dalam
goanya. Subali, Sugriwa mengejarnya dan Subali masuk kedalam goa, sebelum
memasuki goa, dipesankannya kepada adiknya, bahwa jika nanti ada darah merah
yang keluar dari goa maka yang mati adalah Mahesa Sora. Dan jika darah putih
yang mati adalah Subali sendiri. Dan jika yang keluar darah merah dan putih
yang keluar itu berarti kedua-duanya telah tewas maka Sugriwa harus cepat-cepat
menutup pintu goa.
Demikianlah akhirnya didalam goa Subali berhasil
membunuh raksasa itu dengan memecahkan kepalanya sehingga darah dan otaknya
berhamburan keluar yang oleh Sugriwa dikira darah merah dan putih. Segera pintu
goa ditutupnya dan pergi ke indra loka untuk mempersunting Dewi
Tara. Tatkala Sugriwa sedang bermesra mesraan di sebuah taman
tiba-tiba datanglah Subali yang telah berhasil keluar dari goa dengan jalan
menjebol pintu goa. Terjadi pertengkaran akibat salah pengertian yang kemudian
memuncak menjadi suatu pertempuran sengit. Sugriwa kalah dan Dewi Tara diambil
oleh Subali, dalam kesedihan Sugriwa mengutus Hanuman untuk minta bantuan Sang
Rama. Akhirnya atas bantuan Sang Rama, Subali berhasil
dikalahkan dan Sugriwa mendapatkan kembali Dewi Tara
Kisah Dewi Tara Versi Wikipedia :P
Syahdan di
istana Jonggringsalaka, kahyangan Suralaya. Raja Tribuana, Batara Guru tengah
menggelar sidang paripurna para dewa. Dalam sidang tersebut, Sanghyang Guru
membicarakan perihal ancaman Prabu Maesasura, raja siluman negara Goakiskenda
yang telah ditolak lamarannya atas Dewi Tara, putri Batara Indra yang
bersemayam di kahyangan Kaindran.
Sabda Sanghyang
Girinata di dampar kencana mercupunda.
“Batara, Dewata,
Jawata Sangsanga. Bersiaplah kalian untuk menghadapi kemungkinan ancaman
Maesasura yang akan membuat kerusuhan di kadewatan Suralaya, karena lamarannya
terhadap Dewi Tara telah ditolak. Kepada Indra, aku tugaskan memegang
tanggungjawab memimpin pasukan kadewatan dalam menghadapi kekuatan balatentara
siluman Goakiskenda yang akan membuat kerusuhan, mengganggu ketentraman
Suralaya.”
Para dewa segera
melaksanakan perintah Raja Tribuana, mereka lalu mempersiapkan diri menyongsong
raja Duramaka yang berniat buruk terhadap ketentraman kadewatan. Batara Narada,
Batara Bayu, dan Batara Brahma, ikut serta mendampingi Batara Indra.
Gebyar
Jagatpramudita. Bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelap. Tiba-tiba
Candradimuka menggelegar memuntahkan lahar panasnya. Asap hitam gimbalnya
menggumpal di angkasa, menaungi kahyangan Suralaya, sebagai tanda akan terjadi
huru-hara di kahyangan.
Tidak lama
setelah kawah Candradimuka bergolak memuntahkan laharnya disertai asap hitam
dan suara yang menggetarkan, dari arah gerbang Selamatangkep, dua duruwiksa
penjaga gerbang kadewatan, Cingkarabala dan Balaupata berlarian menuju
alun-alun kahyangan Suralaya. Keduanya melaporkan kepada Batara Narada bahwa
balatentara siluman Goakiskenda telah terlihat sedang bergerak menuju kahyangan
Suralaya.
Batara Narada
dan Batara Indra memberi perintah kepada pasukan kadewatan agar secepatnya
menghadang pasukan Goakiskenda di lereng gunung Mahameru. Batara Indra
menghindari pertempuran di dalam lingkungan kahyangan, karena dikhawatirkan
akan merusak tatanan Suralaya. Pasukan kadewatan yang dipimpin Batara Indra
segera melesat terbang menyambut kedatangan musuh.
Di lereng gunung
Mahameru, pasukan kadewatan telah menghadang pasukan Goakiskenda. Dua kubu siap
tempur sudah saling berhadapan, mereka telah siap menunggu perintah dari
pimpinan mereka masing-masing.
"Oladalaa…
Maesasura! Kau telah berani mengancam ketentraman Suralaya. Hyang Otipati akan
menghukum perbuatanmu. Ingat Maesasura! Dulu Manikmaya pernah menaklukan
Goakiskenda dan mengampunimu. Untuk itu, sebelum semuanya terlanjur, lebih baik
kau dan seluruh pasukanmu kembali ke Goakiskenda." Batara Narada mencoba
mengingatkan Prabu Maesasura, agar raja Duratmaka itu membatalkan maksudnya
yang ingin membuat makar di kadewata.
Maesasura dan
Lembusura adalah dua siluman raksasa kakak beradik penghuni kerajaan Goakiskenda.
Maesasura menobatkan dirinya menjadi raja di Goakiskenda, dan Lembusura
diangkat menjadi patihnya. Nama Maesasura sendiri mengandung arti, Maesa =
Kerbau, Sura = Berani atau sakti. Wujud Prabu Maesasura adalah raksasa
berkepala Kerbau. Sedangkan Lembusura berwujud raksasa berkepala Sapi, sesuai
dengan namanya, Lembu = Sapi, Sura = Berani atau Sakti. Prabu Maesasura
memiliki tunggangan seekor singa bermuka raksasa bernama Jatasura.
Rakyat
Goakiskenda adalah sebangsa siluman binatang yang beraneka rupa bentuknya.
Dahulu, sewaktu Sanghyang Manikmaya baru dinobatkan menjadi Raja Tribuana oleh
Hyang Tunggal, kerajaan Goakiskenda pernah dijajah. Maesasura dan Lembusura
pernah ditaklukan oleh Hyang Manikmaya. Dan ternyata keduanya masih menyimpan
dendam, ingin membalas kekalahannya, maka keduanya berguru kepada seorang resi
sakti mandraguna yang bernama Resi Wisalodra. Agar daya kekuatan dan kesaktian
mereka berlipat ganda sukar ditandingi, keduanya lalu menyatukan jiwa. Dua
wadag dalam satu jiwa. Jika yang satu mati, maka yang satunya lagi akan
menghidupkan.
Prabu Maesasura
mendengus, geramannya menggetarkan bumi yang dipijak. “Huahahaha… Hei para
dewa! Kalian pikir cuma kalian yang digjaya! Kalau dulu Manikmaya pernah
menaklukan Kiskenda, kini aku datang untuk membalas kekalahan itu! Katakan pada
si Manikmaya, serahkan Dewi Tara kepadaku atau kahyangan akan aku tumbuhi
gelagah alang-alang!”
Perkataan Prabu
Maesasura membuat telinga Batara Indra menjadi panas, dengan mengendarai gajah
perang Erawata, Batara Indra maju ke depan.
"Jumawa!
Lancang mulutmu, Maesasura! Hari ini akan ku antar kematianmu, melebur bersama
nafsu angkaramu di panasnya kawah Candradimuka!"
Dua pasukan
langsung saling serang ketika pimpinan mereka masing-masing memberi perintah
tempur. Perang pun terjadi di lereng gunung Mahameru, dahsyatnya membuat
suasana sekitar lereng menjadi porak poranda. Batara Indra yang menunggangi
gajah perang Erawata melesat ke udara, disusul oleh Prabu Maesasura dengan
menunggangi Jatasura. Mereka terlibat perang tanding di angkasa, sama-sama
saling adu kesaktian dan saling adu senjata pusaka.
Pasukan siluman
Goakiskenda yang telengas dan beringas terus merangsak menggempur pasukan
kadewatan bersama Mahapatih Lembusura. Walau pasukan kadewatan melepas
pusaka-pusaka dan daya-daya kesaktian, namun Lembusura yang mengamuk membabi
buta membuat pasukan kadewatan terdesak.
Di atas tebing
yang menjulang tinggi, Batara Narada, Batara Bayu, dan batara Brahma
memperhatikan jalannya peperangan. Setelah melihat kekuatan pasukan lawan mampu
mendesak pasukan dewa, Batara Narada memberi isyarat kepada Batara Bayu dan
Batara Brahma untuk segera terjun ke gelanggang perang. Bayu dan Brahma
langsung melesat terjun ke palagan yuda. Kehadiran keduanya membuat pasukan
Kiskenda berbalik terdesak oleh kesaktian Batara Bayu dan Batara Brahma.
Batara Bayu
mengeluarkan aji Bayubajra yang menimbulkan angin topan prahara yang sangat
dahsyat. Benteng topan itu menghantam pasukan Goakiskenda hingga balatentara
siluman banyak yang gugur, hancur dan bermentalan dihempas gelombang angin.
Lembusura menerjang menghadapi kekuatan Bayu. Benteng topan Bayubajra ditabrak
hingga berbalik arah menghantam Batara Bayu. Dewa penghuni kahyangan Panglawung
itu dihantam oleh kekuatannya sendiri, ia terpental jatuh menghantam bebatuan
gunung hingga longsor.
Disaat yang
sama, di atas angkasa Batara Indra melepas pukulan halilintar. Gelegar kilat
menjilat tubuh Prabu Maesasura hingga tubuh raksasa itu jatuh dari punggung
Jatasura. Begitu pula dengan Jatasura yang lengah karena melihat rajanya jatuh,
ia pun luruh dihantam pusaka Bajra oleh Gajah Erawata. Maesasura dan Jatasura
jatuh ambruk di tengah-tengah pertempuran. Pasukan kadewatan bersorak melihat
raja siluman Kiskenda telah roboh dihantam halilintar Indra, tetapi sorak para
dewa hanya sekejap, sebab mereka melihat Prabu Maesasura kembali bangkit dari
kematiannya.
Batara Brahma
mengeluarkan aji Banaspati. Api menyala keluar dari tubuh Brahma. Api Banaspati
membumbung kian membesar dan kemudian melesat hendak menghantam Lembusura,
namun Prabu Maesasura yang telah berdiri tegar menerjang dan menendang
Banaspati hingga api Brhama membuyar menghantam balik kearah pasukan kadewatan.
Para dewa menjerit terbakar api Brahma. Batara Indra dengan cepat melepaskan
pusaka Chandrasa melindungi pasukan kadewatan. Seketika hujan turun deras
memadamkan kobaran api.
Hiruk pikuk
pertempuran menyamarkan pandangan mata. Kabut gunung, asap, api, debu dan
derasnya hujan dimanfaatkan oleh Prabu Maesasura untuk menerobos masuk ke dalam
kahyangan. Dengan menggunakan aji halimun, Maesasura dan Jatasura pergi
meninggalkan medan perang, mereka menembus gerbang Selamatangkep. Secara
diam-diam mereka menyelinap ke kahyangan dan terus menerobos masuk mencari
wisma Papariwarna, tempat bersemayamnya para bidadari.
Perang masih
berkecamuk, para dewa dan siluman saling begalan pati, begitu pula dengan
Lembusura yang bertarung menandingi Brahma, tetapi Batara Indra sendiri merasa
curiga ketika ia tidak lagi mendapati Mahesasura dan Jatasura dalam hiruk
pikuknya pertempuran. Nalurinya mengatakan bahwa putrinya tengah menghadapi
bahaya, maka ia segera melesat menuju kahyangan Suralaya.
Di kahyangan
Suralaya, Batara Indra sangat marah ketika melihat para bidadari
berteriak-teriak ketakutan, berhamburan keluar dari wisma Papariwarna. Prabu
Maesasura telah berhasil menculik Dewi Tara, putri Batara Indra itu telah
tergolek pingsan di bahu kiri Prabu Maesasura.
"Bedebah
licik! Kalian memang sebangsa Duratmaka yang tidak memiliki tatakrama!"
Perang tanding kembali
terjadi antara Batara Indra dan Prabu Mahesasura, tetapi Indra menjadi
kebingungan ketika ia hendak mengeluarkan kesaktian halilintar, sebab putrinya
berada dalam cengkeraman lawan. Prabu Maesasura tidak menyia-nyiakan
kesempatan, Batara Indra ditanduk, dan Gajah Erawata di tendang hingga mental.
Melihat Indra dan Erawata masih terkapar, Prabu Maesasura segera pergi
meninggalkan kahyangan. Ia melesat terbang bersama Jatasura.
Sementara itu
Lembusura yang sedang menghadapi kesaktian Brahma beberapa kali dihantam dengan
aji Banaspati. Batara Bayu tidak tinggal diam, ia membantu Brahma dengan aji
Bayubajra. Api dan angin saling menggulung melabrak Lembusura. Mahapatih
Goakiskenda itu ditangkap dan digelandang oleh Batara Bayu dan Brahma, kemudian
Lembusura ditusuk dengan Pacanaka hingga tubuhnya robek. Pada saat bersamaan
dari atas angkasa, Prabu Maesura yang telah meninggalkan kahyangan melihat
Lembusura sedang digelandang para dewa, Prabu Maesasura dan Jatasura menukik
menerjang Batara Bayu dan Batara Brahma. Kedua dewa itu dihantam dengan pusaka
Gada, lalu dari mulut Prabu Maesasura keluar kobaran api yang sangat besar,
menandingi api Brahma. Para dewa tersurut mundur menghindari ancaman Maesasura.
Lembusura yang
telah terkapar kemudian disentuh oleh Maesasura, seketika Mahapatih Goakiskenda
sembuh dari kematiannya. Prabu Maesasura kemudian memberi isyarat kepada
Lembusura untuk menarik pasukan kembali ke Goakiskenda.
Batara Indra
dengan Erawatanya baru sampai ketika Prabu Maesasura bersama pasukannya telah
pergi meninggalkan medan perang. Batara Indra berniat mengejar pasukan Kiskenda
tetapi Batara Narada mencegah. Batara Narada menyarankan agar Indra menarik
pasukannya kembali ke Suralaya dan melaporkan peristiwa tersebut kepada Raja
Tribuana.
Batara Narada
memanggil Hyang Baruna, ia meminta tolong untuk menyembuhkan dan menghidupkan
kembali para dewa yang pingsan dan palastra dengan Tirta Kamandalu.
Merasa kewalahan
menghadapi Maesasura dan Lembusura, Batara Guru dan Batara Narada turun ke
Arcapada mencari jago dewa yang dapat mengalahkan Prabu Maesa Sura dan Lembu
Sura Batara Guru menaiki lembu Andini sedangkan Batara Narada mengikuti
kepergian Batara Guru.
Sesampai di atas
sungai Yamuna Batara Guru melihat cahaya sebesar lidi aren yang memancar
kelangit. Ternyata pancaran cahaya berasal dari Dewi Anjani yang sedang bertapa
. Batara Guru iba hatinya melihat Dewi Anjani jarang sekali mendapatkan
makanan yang masuk dalam mulutnya. Batara Guru memetik daun sinom atau
daun asam yang masih muda, dan melemparkan kedepan mulut Dewi Anjani.
Melihat ada makanan dihadapannya, Dewi Anjani segera melahapnya. Apa yang
terjadi.
Dengan kesaktian
Batara Guru Dewi Anjani menjadi berbadan dua, wajah dan anggota badan yang
berwujud kera kembali menjadi seorang dewi yang cantik jelita. Kelak Dewi
Anjani melahirkan seorang anak berwujud kera putih, yang diberi nama
Anoman. Batara Guru memanggil beberapa bidadari untuk memberi
pakaian dan merias wajahnya. Kemudian Batara Guru memerintahkan para bidadari
untuk membawa Dewi Anjani ke kahyangan.
Batara
Guru dan Batara Narada melanjutkan perjalanan ke hutan Sunyapringga
menemui Subali yang sedang bertapa ngalong disebuah pohon besar. Subali
dibangunkan dan diajak menemui Sugriwa. Mereka akhirnya bertemu dengan Sugriwa.
Batara Guru menitahkan kepada Subali dan Sugriwa untuk menyelamatkan Dewi Tara
yang diculik Prabu Maesasura dan Lembusura. Dan jika berhasil, akan diberi
hadiah Dewi Tara untuk diperistri. Setelah memberikan pesan–pesan Batara Guru
dan Batara Narada kembali ke kahyangan.
Tak
berlama-lama, segeralah mereka menuju ke Goa Kiskenda. Sesampainya di Goa
Kiskenda mereka dihadang pasukan Kiskenda, setelah melalui pertempuran sengit
akhirnya mereka dapat mengalahkan para pasukan Goa Kiskenda dan berhasil
membebaskan Dewi Tara. Demi keselamatan Dewi Tara, Subali member tugas pada
Sugriwa untuk membawanya keluar dari goa terlebih dahulu sementara Subali akan
menghadapi Maesasura dan Lembusura.
Subali gundah
hatinya Didalam hati ia tidak yakin mereka bisa mengalahkan Prabu
Maesasura dan Lembusura, sedangkan para dewa saja tidak sanggup untuk
mengalahkannya. Subali berpesan kepada Sugriwa menunggu didepan pintu goa saja.
Sedangkan Subali sendiri yang akan melawan Prabu Maesasura dan Lembusura.
Apabila nanti ada darah merah yang mengalir ke pintu goa, berarti Subali dapat
mengalahkan Maesasura dan Lembsura. Dan apabila ada darah putih yang mengalir
kepintu goa, adalah pertanda Subali mati dan diminta Sugriwa menutup pintu
goa. Sugriwa menangis mendengar pesan kakaknya namun Sugriwa siap melaksanakan
perintahnya. Seperti kita ketahui Subali berdarah putih disamping Begawan
Bagaspati dan Prabu Puntadewa.
Mendengar
kegaduhan yang terjadi Prabu Maesasura dan Lembu Sura keluar dari istana.
Mereka mendapati Dewi Tara sudah hilang dan hanya ada seorang manusia kera yang
ada di hadapannya, ya Subali. Kontan meledaklah amarah Maesasura dan
Lembusura. Tanpa basa-basi mereka langsung mengroyok Subali. Kali ini lawan
Subali sangat tangguh, berkali-kali Prabu Maesasura tewas, kemudian
dilompati Lembusura, Prabu Maesasura hidup kembali demikian pula sebaliknya.
Dengan sisa
tenaga yang ada Subali segera membenturkan kedua kepala musuhnya sehingga
hancur berkeping-keping. Darah dan otak prabu Maesasura dan Lembusura mengalir
kesepanjang goa. Sugriwa yang waktu itu termangu menunggu kakaknya
terkejut melihat darah merah dan darah putih mengalir bersama sama ke pintu
goa. Sugriwa menangisi kematian kakaknya. Sugriwa berpikir bahwa kakaknya,
Subali tewas, setelah berhasil mengalahkan Maesasura dan Lembusura, terbukti
ada darah merah yang mengalir bersama darah putih kakaknya.
Sesuai pesan
kakaknya Sugriwa menutup pintu goa dengan batu-batuan. Sugriwa pergi ke
kahyangan untuk menyerahkan Dewi Tara dan melaporkan kejadian yang telah
terjadi di Goa Kiskenda. Di kahyangan, Sugriwa diterima Bathara Guru.
Menurut Batara Guru, Batara Guru akan menganugerahkan Dewi Tara kepada
Sugriwa untuk menjadi istrinya. Dengan berat hati Sugriwa menerimanya, karena
ia merasa yang lebih berhak adalah Subali. Sugriwa bersama Dewi Tara kemudian
meninggalkan kahyangan menuju goa Kiskenda.
Sementara itu
Subali terjebak dalam goa. Subali marah karena adiknya berbuat curang padanya.
Subali lupa dengan pesan pesan yang diberikan pada adiknya. Subali
bersemadi mohon pertolongan dewa untuk membuka pintu goa. Dengan kekuatan penuh
Subali menghantam batu-batuan hingga hancur berkeping-keping.
Setelah keluar
dari goa, Subali berangkat ke kahyangan menemui Batara Guru. Subali
melaporkan semua kejadian pada Batara Guru. Batara Guru tidak bisa berbuat
apa-apa. Karena Dewi Tara sudah terlanjur diberikan kepada Sugriwa,
karena Subali dianggap sudah tewas. Namun Batara Guru tidak akan melupakan jasa
Subali. Diberikannya kepada Subali aji Pancasona yang mempunyai kekuatan hebat.
Aji Pancasona menjadikan pemiliknya menjadi sakti dan tidak mati apabila
tubuhnya menyentuh tanah.
Sementara itu
Sugriwa dan Dewi Tara telah bersemayam di Goa Kiskenda. Tidak lama kemudian
Subali memasuki istana Goa Kiskenda, melihat adiknya sedang bersanding
dengan Dewi Tara, Subali langsung menarik Sugriwa dan memukulnya.
Ditariknya tubuh
Sugriwa sehingga keluar dari goa. Perkelahian terjadi antara kedua kakak
beradik. Keduanya tidak ada yang mau mengalah sehingga perkelahian mereka
berlangsung sampai beberapa hari beberapa malam. Subali sangat geram. Tubuh
Sugriwa akhirnya dilempar jauh keluar wilayah Goa Kiskenda. Sugriwa jatuh di
hutan Pancawati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar