Senin, 10 Desember 2012

Kisah Dewi Tara


Oleh:
I Gusti Agung Ayu Dwi Septiani
Teacher At Sevila

Ada kisah lisan yang dituturkan turun temurun mengenai Dewi Tara. Legenda dimulai dengan pengadukan samudra susu yang dilakukan oleh para dewa dan raksasa. Dari proses pengadukan samudra susu, munculah racun mematikan yang kemudian diminum oleh Dewa Siwa untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran. Setelah meminum racun tersebut, lehernya menjadi biru dan kekuatannya melemah. Lalu Tara muncul dan memangku Siwa. Tara menyusuinya, dan air susu yang dihasilkannya berhasil menjadi penawar racun sehingga Siwa siuman.
Versi lainnya mengatakan Tara adalah nama puteri Sri Dharmasetu dari Wangsa Soma. Dari perkawinannya dengan Samaragrawira raja Wangsa Sailendra (sekitar 802819), ia melahirkan Balaputradewa yang menjadi raja Kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan berita tersebut, Sri Dharmasetu pun dianggap sebagai raja kerajaan Sriwijaya, atau dengan kata lain, Balaputradewa mewarisi takhta dari kakeknya tersebut.
Kisah tentang Dewi Tara juga dapat kita temui dalam epos Ramayana. Dalam epos tersebut diceritakan Dewi Tara menikah dengan Sugriwa, seorang raja wanara dari Kerajaan Kiskenda yang bersaudara dengan Subali. Atas adu domba yang dilancarkan Rahwana, Subali pun mengusir Sugriwa dan menikahi Tara. Dari perkawinan kedua itu, Tara melahirkan Anggada. Sugriwa mendapat bantuan dari Rama dan berhasil mengalahkan Subali. Ia kemudian kembali menjadikan Dewi Tara sebagai istrinya.
Dalam kisah pewayangan, Dewi Tara adalah bidadari, putri sulung dari Batara Indra, yang kemudian oleh Batara Guru diberikan kepada Sugriwa, putra Resi Gotama, sebagai hadiah atas jasanya kepada Subali, saudara kandungnya sendiri, atas jasanya telah berhasil membunuh Prabu Maesasura dan Jatasura dari kerajaan Gua Kiskenda. Tak lama menjadi istri Sugriwa, Dewi Tara berhasil direbut oleh Subali atas hasutan Prabu Dasamuka, raja Alengka.
Setelah Subali tewas terbunuh oleh panah Gowawijaya milik Ramawijaya, Dewi Tara kembali menjadi istri Sugriwa. Dan setelah Sugriwa meninggal, Dewi Tara kembali ke asalnya, yaitu menjadi bidadari di kerajaan Kaindran, kerajaan dewa ayahnya, Batara Indra.
Bila kemudian dihubungkan dengan Dewi Tara yang di arcakan di negeri Tibet, hal ini karena  waktu abad 11, yaitu 3 abad setelah berdirinya Candi Kalasan tersebut, datanglah Yang Mulia Atisa dari hindia Timur Laut, dan tinggal di kerajaan Sriwijaya utnuk berguru pada Guru Darmakirti, dan menjadikan Dewi Tara sebagai objek meditasi, dan keduanya pun kemudian “berhasil “ melihat wajah dari Sang Dewi Tara. 
Dalam agama Hindu Tara (Sanskerta : तारा; Tārā) adalah dewi yang kedua di antara sepuluh Mahawidya (Dewi Kebijaksanaan). Menurut tradisi Tantra, ia merupakan penjelmaan dari Mahadewi, Kali atau bahkan Parwati.

Kisah Dewi Tara Dalam Pewayangan
Sepasang duda di gunung Maliawan. Wajahnya sendu. Keduanya bergerak ke Istana Guakiskenda. Jaraknya masih bergunung-gunung. Nun di balik gunung terakhir, di bekas istana raja raksasa Maesasura itu bersinggasana Resi Subali. Sosoknya kera. Matanya tajam. Dan ia sakti. Dasamuka dan Dewa Indra di kahyangan bahkan takluk. Permaisuri Resi Subali itulah Dewi Tara.
Dewi Tara…Dewi Tara..Putri Batara Indra. Engkaukah itu, perempuan ayu yang mendudakan banyak lelaki?
Duda pertama Sugriwa namanya, adik kandung Resi Subali. Wujudnya jugarewanda, monyet. Ia pun sakti. Tak aneh, keduanya putra Resi Gotama yang digdaya di Gunung Sukendra. Namun sesakti-sakti Sugriwa apalah artinya dibanding Subali.
Tendangan sakti Sugriwa di hari budha alias Rabu dahulu telah meluluhlantakkan Subali di atas tanah. Lihatlah! Aji Pancasonya membangkitkan Subali kembali hidup. Begitu mayatnya menyentuh bumi, Subali kembali gumregah segar bugar. Seketika ia banting Sugriwa. Sugriwa menyerah, sekaligus wajib menyerahkan istrinya, Dewi Tara, menjadi istri sang kakak.
Kini tinggal segunung lagi perjalanan sepasang duda ke Guakiskenda, di balik gugusan kabut, istana pengantin baru Subali-Dewi Tara. Kepada diri sendiri yang sedang dilanda sunyi Sugriwa bertanya, ”Sanggupkah bersama pertolongan duda yang baru kukenal di sebelahku ini…hmmm… Sanggupkah aku merebut Dewi Tara dari rengkuhan kakakku?”
***
Ponokawan Petruk juga bertanya, kok Wayang Durangpo hari ini nggak adangawur-ngawurnya babar blas ya. Nggak kritik sana nggak kritik sini. Mana bahasanya sok tertib lagi, kayak orang-orang manis di universitas.
”Mungkin karena dalang sudah merasa nggak ada gunanya lagi ngritik, Truk,” celoteh Bagong, bungsu ponokawan. ”Kan kritik hanya mempan ke orang yang masih punya malu. Padahal kita sudah lama paceklik isin, kehabisan rasa malu. Pamong daerah yang sudah dua periode mimpin, masih mau tanduk lagi. Kalaundak gitu, ndorong-dorong istri-istrinya jadi pemimpin baru.”
”Belum lagi, Truk, wakil rakyat, gaji wis sak langit, masih minta dana ini-itu.Abis itu penegak hukum nggak idep isin punya rekening gemuk, tambah ndakmalu lagi malah ingin menyelikidi siapa yang main bocorkan nomor rekening.Tak pikir-pikir setelah semua itu kita terus tobat, kembali punya kerasamaluan. Eh, belum. Konco-konco yang ngurus sepak bola, sudah tahu sepak bola kitadedel duwel, perlu perhatian perlu duit perlu ini-itu yang diperlukan buat perbaikan, malah duitnya diperlukan untuk jalan-jalan rombongan ke Afrika Selatan.”
Gareng si tukang analisis mencoba tak turut larut dalam problem sosial. Sulung ponokawan ini mencari-cari kemungkinan lain. ”Wayang Durangpo bisa saja jadi kayak sekarang karena ”Batara” Arief Santosa. Pukulun itu dewa dari Kahyangan Graha Pena yang menjaga rubrik ini dan ngasih kemerdekaan. Katanya ndak harus ada kritik sosial. Kalau memang lagi ndak mood ngritiksosial, ya ndak usah dipas-paskan dengan peristiwa sosial. Berdiri sendiri saja. Begitu dawuhnya Kanjeng Batara. Dan ndak usah mikir macem-macem. Dalangkan juga manusia. Siapa tahu Wayang Durangpo bisa jadi kayak sekarang ini karena dalangnya lagi jatuh cinta kepada anake sing dodol rujak cingur…”
***
Ooo…Cinta…cinta adalah seluruh keherananku kepada manusia...(kutipan syair Afrizal Malna)
Sugriwa ingin lebih banyak mengadu pada duda yang baru dikenal di sebelahnya. Tetapi bagaimana caranya? Lelaki tampan itu juga terlunta-lunta, baru saja kehilangan istri di hutan Dandaka. Bagaimana Sugriwa akan menumpahkan perasaannya pada lelaki yang matanya sedang menerawang tak tentu langit? Malah lelaki ini kadang bercakap-cakap kepada akar dan perdu, tersenyum dan sesenggukan, seakan pohon dan dedaunan adalah mantan istrinya yang berdenyut di dalam hutan.
Suatu fajar, sorot matahari bermasukan dari sela-sela rerimbun hutan membentuk jutaan benang cahaya, lengkap dengan semburat warna-warninya pada kolang-kaling, langsep, jambu bol, kedondong, blimbing wuluh, dan lain-lain, lelaki tampan itu siuman dari gandrung-nya. Ia ingin berbagi pada Sugriwa. Bagaimana rasanya pernah memiliki istri setia. Baru manten anyar, lelaki ini diusir ke tengah hutan. Lelaki itu bergegas pergi sendiri ke belantara karena tak ingin menyusahkan istri. Tapi sang istri nangis-nangis bergelayutan nggondelisuaminya terkasih, minta diajak serta. Ia tak tega suaminya sendirian di kelembaban yang asing. Hari-hari mereka lalui berdua di peraduan hutan sampai tiba-tiba sang istri lenyap.
Lelaki yang baru tersadar dari kasmaran itu tak bisa menumpahkan segalanya kepada Sugriwa karena, seperti bergiliran, Sugriwa kini malah sedang dilandakunjana papaKunjana sakit. Papa edan. Sugriwa kelimpungan pada mantan istrinya, Dewi Tara.
”Sugriwa, aku akan membela kamu. Bisa kuhayati sebeban apa rasa dipisahkan dari perempuan tercinta…”
”Aku yang akan membelamu, hei lelaki!!!” teriak Sugriwa, ”karena telah aku alami beban terpisah dari wanodya yang kita cintai…”
Sehabis teriak tiba-tiba Sugriwa terbahak-bahak, tiba-tiba menangis. Ada ular, dipeluknya ular. Dielus-elus dan diciuminya taksaka itu seakan-akan ia Dewi Tara.
”Oh, Dewi Tara,” desah Sugriwa selepas rangkulannya dari sang ular. Ia kini memeluk singa, berbincang kepadanya. ”Dahulu tak salah aku nikahi kamu, Tara. Batara Indra janji, siapa sanggup membunuh Maesasura dan tunggangannya, Jatasura, akan mendapat cintamu sebagai anugerah. Kakakku Subali masuk ke istana megah yang mulut gerbangnya bagaikan gua mengerikan itu. Aku tak boleh masuk. Aku disuruh menunggu di depan mulut gua. Kakakku Subali yang berdarah putih itu bersabda, kalau nanti mengalir darah putih di mulut gua, berarti aku yang mati. Tutup lekas-lekaslah pintu gua, agar semuanya mati di dalam gua…”
Kini Sugriwa memindahkan dekapannya pada trenggiling. Di matanya, hewan ini adalah sang dewi yang tiada tara. ”Aku sayang banget sama kamu, Tara. Aku lanjutkan ceritaku, ya Tara. Ternyata yang mengalir di mulut gua darah merah dan putih. Sedih sekali kakakku mati. Aku segera naik ke kahyangan melapor Batara Indra. Saking bahagianya atas kematian pengacau kahyangan Maesasura dan Jatasura, Batara Indra menghadiahkan putrinya sebagai istriku…”
Bagai lolong serigala Sugriwa lalu berteriak kepada sulur-sulur rimba, mengagetkan perkutut, betet, drekuku, sriti, murai, dan blekok. ”Oooo Mas Budionoooo, Mas Budionoooo...tulung gambar ilustrasi Wayang Durangposekarang yang romantis banget ya….bagai tembang Dhandhanggula Sidoasih
Pamintakuuuuu…Nimas Sidoasiiiih…Anut runtut tansah reruntungaaaaan…..”
***
Yang tewas di Guakiskenda ternyata cuma Maesasura dan Jatasura. Yang putih-putih bukan darah Subali. Warna putih hanya ceceran otak raksasa dan tunggangannya. Subali ngamuk. Pintu gua didobrak, dijebolnya. Ia banting Sugriwa hampir mati. Untung adik yang dicintainya itu masih sempat meruntutkan apa yang sesungguhnya terjadi. Hati Subali luluh. Ia serahkan istana Guakiskenda. Didoakannya pula pernikahan Sugriwa-Dewi Tara langgeng di dalam cinta.
Tapi Rahwana menyusupkan Wil Sukasrana. Mata-mata ini berubah rupa menjadi inang pembantu Dewi Tara. Suatu hari inang pembantu Dewi Tara itu mengarang-ngarang cerita. Ia mengada-ada dan mengadu pada Subali bahwa Dewi Tara dipukuli Sugriwa. Pasalnya, Dewi Tara merasa, yang berhak menikahinya adalah Subali, karena Subalilah yang berhasil membunuh Maesasura dan Jatasura.
Amuk! Amuk! Amuk!
Subali menggempur istana Guakiskenda. Ia hajar habis adiknya yang tak tahu apa juntrungannya tiba-tiba dihajar. Sugriwa lalu dilemparnya hingga jatuh ke Gunung Wreksamuka di sekitar Maliawan. Hari itu juga Dewi Tara direbutnya sebagai istri bahkan hari ini telah mengandung anaknya.
Dan hari ini, sepasang duda itu telah sampai di mulut Guakiskenda. Sugriwa menyumbarkan tantangan. Subali keluar. Peristiwa dulu-dulu terulang kembali. Subali berkali-kali membanting Sugriwa. Saat Sugriwa makin sekarat, tatkala Subali terakhir akan membantingnya, rongga dada Subali panas dadakan. Mendidih. Ada panah nancap di situ dan melontarkan Subali mengambang tak menyentuh bumi.
”Panah kamukah ini, Kisanak?” tanya Subali tersengal-sengal kepada lelaki yang tiba bareng Sugriwa. ”Tak pangling lagi aku. Hanya panah Guwawijaya yang akan sanggup menyudahiku. Ini pusaka dari Ayodya. Jadi, kamu Prabu Ramawijaya?”
Mestinya Sugriwa kaget mendegar bahwa duda teman seperjalanannya ternyata titisan Batara Wisnu. Tapi badannya yang nyaris remuk masih menahan sakit sambil memandangi Dewi Tara. Siapa yang ditangisi sang dewi? Dirinya yang babak belur? Atau waspa Dewi Tara itu sejatinya menetes untuk yang baru wafat, tapi mengapa Wisnu lebih ingin Tara kembali kepadaku?
Duda yang satu lagi tak sempat mendengar namanya disebut-sebut oleh Subali sebelum tewas. Ia juga tak tahu bahwa sikapnya sedang direnung-renungkan oleh Sugriwa. Jiwanya masih terhuyung-huyung pada cintanya yang telah lenyap.

Versi Kisah Dewi Tara Dalam Ramayana
Disebuah goa dekat gunung himawa, hidup seorang raksasa yang sangat sakti bernama Mahesa Sora. Yakin akan kesaktiannya ini maka timbul niatnya untuk menyerang keindraan, dengan dalah melamar Dewi Tara putri Dewa Indra. Dewa Indra yang sudah tentunya tidak setuju atas lamaran raksasa ini, menolak akibatnya terjadi perang antara pihak Mahesa Sora dan pihak keindraan. Merasa Hyang Indra akan kalah, cepat-cepat ia atas petunjuk pendeta Briaspati minta bantuan Subali dan Sugriwa yang diam di gunung Semi, dengan perjanjian bahwa yang dapat mengalahkan Mahesa Sora akan mendapatkan hadiah Dewi Tara sebagai istri.
Subali, Sugriwa menyanggupi dan segera berangkat keindraan melawan Mahesa Sora. Mahesa Sora yang merasa tidak mampu menghadapi lawannya, segera lari meninggalkan keindraan, bersembunyi di dalam goanya. Subali, Sugriwa mengejarnya dan Subali masuk kedalam goa, sebelum memasuki goa, dipesankannya kepada adiknya, bahwa jika nanti ada darah merah yang keluar dari goa maka yang mati adalah Mahesa Sora. Dan jika darah putih yang mati adalah Subali sendiri. Dan jika yang keluar darah merah dan putih yang keluar itu berarti kedua-duanya telah tewas maka Sugriwa harus cepat-cepat menutup pintu goa.
            Demikianlah akhirnya didalam goa Subali berhasil membunuh raksasa itu dengan memecahkan kepalanya sehingga darah dan otaknya berhamburan keluar yang oleh Sugriwa dikira darah merah dan putih. Segera pintu goa ditutupnya dan pergi ke indra loka untuk mempersunting Dewi Tara.  Tatkala Sugriwa sedang bermesra mesraan di sebuah taman tiba-tiba datanglah Subali yang telah berhasil keluar dari goa dengan jalan menjebol pintu goa. Terjadi pertengkaran akibat salah pengertian yang kemudian memuncak menjadi suatu pertempuran sengit. Sugriwa kalah dan Dewi Tara diambil oleh Subali, dalam kesedihan Sugriwa mengutus Hanuman untuk minta bantuan Sang Rama. Akhirnya atas bantuan Sang Rama, Subali berhasil dikalahkan dan Sugriwa mendapatkan kembali Dewi Tara
Kisah Dewi Tara Versi Wikipedia :P

Syahdan di istana Jonggringsalaka, kahyangan Suralaya. Raja Tribuana, Batara Guru tengah menggelar sidang paripurna para dewa. Dalam sidang tersebut, Sanghyang Guru membicarakan perihal ancaman Prabu Maesasura, raja siluman negara Goakiskenda yang telah ditolak lamarannya atas Dewi Tara, putri Batara Indra yang bersemayam di kahyangan Kaindran.
Sabda Sanghyang Girinata di dampar kencana mercupunda.
“Batara, Dewata, Jawata Sangsanga. Bersiaplah kalian untuk menghadapi kemungkinan ancaman Maesasura yang akan membuat kerusuhan di kadewatan Suralaya, karena lamarannya terhadap Dewi Tara telah ditolak. Kepada Indra, aku tugaskan memegang tanggungjawab memimpin pasukan kadewatan dalam menghadapi kekuatan balatentara siluman Goakiskenda yang akan membuat kerusuhan, mengganggu ketentraman Suralaya.”
Para dewa segera melaksanakan perintah Raja Tribuana, mereka lalu mempersiapkan diri menyongsong raja Duramaka yang berniat buruk terhadap ketentraman kadewatan. Batara Narada, Batara Bayu, dan Batara Brahma, ikut serta mendampingi Batara Indra.
Gebyar Jagatpramudita. Bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelap. Tiba-tiba Candradimuka menggelegar memuntahkan lahar panasnya. Asap hitam gimbalnya menggumpal di angkasa, menaungi kahyangan Suralaya, sebagai tanda akan terjadi huru-hara di kahyangan.
Tidak lama setelah kawah Candradimuka bergolak memuntahkan laharnya disertai asap hitam dan suara yang menggetarkan, dari arah gerbang Selamatangkep, dua duruwiksa penjaga gerbang kadewatan, Cingkarabala dan Balaupata berlarian menuju alun-alun kahyangan Suralaya. Keduanya melaporkan kepada Batara Narada bahwa balatentara siluman Goakiskenda telah terlihat sedang bergerak menuju kahyangan Suralaya.
Batara Narada dan Batara Indra memberi perintah kepada pasukan kadewatan agar secepatnya menghadang pasukan Goakiskenda di lereng gunung Mahameru. Batara Indra menghindari pertempuran di dalam lingkungan kahyangan, karena dikhawatirkan akan merusak tatanan Suralaya. Pasukan kadewatan yang dipimpin Batara Indra segera melesat terbang menyambut kedatangan musuh.

Di lereng gunung Mahameru, pasukan kadewatan telah menghadang pasukan Goakiskenda. Dua kubu siap tempur sudah saling berhadapan, mereka telah siap menunggu perintah dari pimpinan mereka masing-masing.
"Oladalaa… Maesasura! Kau telah berani mengancam ketentraman Suralaya. Hyang Otipati akan menghukum perbuatanmu. Ingat Maesasura! Dulu Manikmaya pernah menaklukan Goakiskenda dan mengampunimu. Untuk itu, sebelum semuanya terlanjur, lebih baik kau dan seluruh pasukanmu kembali ke Goakiskenda." Batara Narada mencoba mengingatkan Prabu Maesasura, agar raja Duratmaka itu membatalkan maksudnya yang ingin membuat makar di kadewata.
Maesasura dan Lembusura adalah dua siluman raksasa kakak beradik penghuni kerajaan Goakiskenda. Maesasura menobatkan dirinya menjadi raja di Goakiskenda, dan Lembusura diangkat menjadi patihnya. Nama Maesasura sendiri mengandung arti, Maesa = Kerbau, Sura = Berani atau sakti. Wujud Prabu Maesasura adalah raksasa berkepala Kerbau. Sedangkan Lembusura berwujud raksasa berkepala Sapi, sesuai dengan namanya, Lembu = Sapi, Sura = Berani atau Sakti. Prabu Maesasura memiliki tunggangan seekor singa bermuka raksasa bernama Jatasura.
Rakyat Goakiskenda adalah sebangsa siluman binatang yang beraneka rupa bentuknya. Dahulu, sewaktu Sanghyang Manikmaya baru dinobatkan menjadi Raja Tribuana oleh Hyang Tunggal, kerajaan Goakiskenda pernah dijajah. Maesasura dan Lembusura pernah ditaklukan oleh Hyang Manikmaya. Dan ternyata keduanya masih menyimpan dendam, ingin membalas kekalahannya, maka keduanya berguru kepada seorang resi sakti mandraguna yang bernama Resi Wisalodra. Agar daya kekuatan dan kesaktian mereka berlipat ganda sukar ditandingi, keduanya lalu menyatukan jiwa. Dua wadag dalam satu jiwa. Jika yang satu mati, maka yang satunya lagi akan menghidupkan.
Prabu Maesasura mendengus, geramannya menggetarkan bumi yang dipijak. “Huahahaha… Hei para dewa! Kalian pikir cuma kalian yang digjaya! Kalau dulu Manikmaya pernah menaklukan Kiskenda, kini aku datang untuk membalas kekalahan itu! Katakan pada si Manikmaya, serahkan Dewi Tara kepadaku atau kahyangan akan aku tumbuhi gelagah alang-alang!”
Perkataan Prabu Maesasura membuat telinga Batara Indra menjadi panas, dengan mengendarai gajah perang Erawata, Batara Indra maju ke depan.
"Jumawa! Lancang mulutmu, Maesasura! Hari ini akan ku antar kematianmu, melebur bersama nafsu angkaramu di panasnya kawah Candradimuka!"
Dua pasukan langsung saling serang ketika pimpinan mereka masing-masing memberi perintah tempur. Perang pun terjadi di lereng gunung Mahameru, dahsyatnya membuat suasana sekitar lereng menjadi porak poranda. Batara Indra yang menunggangi gajah perang Erawata melesat ke udara, disusul oleh Prabu Maesasura dengan menunggangi Jatasura. Mereka terlibat perang tanding di angkasa, sama-sama saling adu kesaktian dan saling adu senjata pusaka.
Pasukan siluman Goakiskenda yang telengas dan beringas terus merangsak menggempur pasukan kadewatan bersama Mahapatih Lembusura. Walau pasukan kadewatan melepas pusaka-pusaka dan daya-daya kesaktian, namun Lembusura yang mengamuk membabi buta membuat pasukan kadewatan terdesak.
Di atas tebing yang menjulang tinggi, Batara Narada, Batara Bayu, dan batara Brahma memperhatikan jalannya peperangan. Setelah melihat kekuatan pasukan lawan mampu mendesak pasukan dewa, Batara Narada memberi isyarat kepada Batara Bayu dan Batara Brahma untuk segera terjun ke gelanggang perang. Bayu dan Brahma langsung melesat terjun ke palagan yuda. Kehadiran keduanya membuat pasukan Kiskenda berbalik terdesak oleh kesaktian Batara Bayu dan Batara Brahma.
Batara Bayu mengeluarkan aji Bayubajra yang menimbulkan angin topan prahara yang sangat dahsyat. Benteng topan itu menghantam pasukan Goakiskenda hingga balatentara siluman banyak yang gugur, hancur dan bermentalan dihempas gelombang angin. Lembusura menerjang menghadapi kekuatan Bayu. Benteng topan Bayubajra ditabrak hingga berbalik arah menghantam Batara Bayu. Dewa penghuni kahyangan Panglawung itu dihantam oleh kekuatannya sendiri, ia terpental jatuh menghantam bebatuan gunung hingga longsor.
Disaat yang sama, di atas angkasa Batara Indra melepas pukulan halilintar. Gelegar kilat menjilat tubuh Prabu Maesasura hingga tubuh raksasa itu jatuh dari punggung Jatasura. Begitu pula dengan Jatasura yang lengah karena melihat rajanya jatuh, ia pun luruh dihantam pusaka Bajra oleh Gajah Erawata. Maesasura dan Jatasura jatuh ambruk di tengah-tengah pertempuran. Pasukan kadewatan bersorak melihat raja siluman Kiskenda telah roboh dihantam halilintar Indra, tetapi sorak para dewa hanya sekejap, sebab mereka melihat Prabu Maesasura kembali bangkit dari kematiannya.
Batara Brahma mengeluarkan aji Banaspati. Api menyala keluar dari tubuh Brahma. Api Banaspati membumbung kian membesar dan kemudian melesat hendak menghantam Lembusura, namun Prabu Maesasura yang telah berdiri tegar menerjang dan menendang Banaspati hingga api Brhama membuyar menghantam balik kearah pasukan kadewatan. Para dewa menjerit terbakar api Brahma. Batara Indra dengan cepat melepaskan pusaka Chandrasa melindungi pasukan kadewatan. Seketika hujan turun deras memadamkan kobaran api. 
Hiruk pikuk pertempuran menyamarkan pandangan mata. Kabut gunung, asap, api, debu dan derasnya hujan dimanfaatkan oleh Prabu Maesasura untuk menerobos masuk ke dalam kahyangan. Dengan menggunakan aji halimun, Maesasura dan Jatasura pergi meninggalkan medan perang, mereka menembus gerbang Selamatangkep. Secara diam-diam mereka menyelinap ke kahyangan dan terus menerobos masuk mencari wisma Papariwarna, tempat bersemayamnya para bidadari.
Perang masih berkecamuk, para dewa dan siluman saling begalan pati, begitu pula dengan Lembusura yang bertarung menandingi Brahma, tetapi Batara Indra sendiri merasa curiga ketika ia tidak lagi mendapati Mahesasura dan Jatasura dalam hiruk pikuknya pertempuran. Nalurinya mengatakan bahwa putrinya tengah menghadapi bahaya, maka ia segera melesat menuju kahyangan Suralaya.
Di kahyangan Suralaya, Batara Indra sangat marah ketika melihat para bidadari berteriak-teriak ketakutan, berhamburan keluar dari wisma Papariwarna. Prabu Maesasura telah berhasil menculik Dewi Tara, putri Batara Indra itu telah tergolek pingsan di bahu kiri Prabu Maesasura.

"Bedebah licik! Kalian memang sebangsa Duratmaka yang tidak memiliki tatakrama!"
Perang tanding kembali terjadi antara Batara Indra dan Prabu Mahesasura, tetapi Indra menjadi kebingungan ketika ia hendak mengeluarkan kesaktian halilintar, sebab putrinya berada dalam cengkeraman lawan. Prabu Maesasura tidak menyia-nyiakan kesempatan, Batara Indra ditanduk, dan Gajah Erawata di tendang hingga mental. Melihat Indra dan Erawata masih terkapar, Prabu Maesasura segera pergi meninggalkan kahyangan. Ia melesat terbang bersama Jatasura.
Sementara itu Lembusura yang sedang menghadapi kesaktian Brahma beberapa kali dihantam dengan aji Banaspati. Batara Bayu tidak tinggal diam, ia membantu Brahma dengan aji Bayubajra. Api dan angin saling menggulung melabrak Lembusura. Mahapatih Goakiskenda itu ditangkap dan digelandang oleh Batara Bayu dan Brahma, kemudian Lembusura ditusuk dengan Pacanaka hingga tubuhnya robek. Pada saat bersamaan dari atas angkasa, Prabu Maesura yang telah meninggalkan kahyangan melihat Lembusura sedang digelandang para dewa, Prabu Maesasura dan Jatasura menukik menerjang Batara Bayu dan Batara Brahma. Kedua dewa itu dihantam dengan pusaka Gada, lalu dari mulut Prabu Maesasura keluar kobaran api yang sangat besar, menandingi api Brahma. Para dewa tersurut mundur menghindari ancaman Maesasura.
Lembusura yang telah terkapar kemudian disentuh oleh Maesasura, seketika Mahapatih Goakiskenda sembuh dari kematiannya. Prabu Maesasura kemudian memberi isyarat kepada Lembusura untuk menarik pasukan kembali ke Goakiskenda.
Batara Indra dengan Erawatanya baru sampai ketika Prabu Maesasura bersama pasukannya telah pergi meninggalkan medan perang. Batara Indra berniat mengejar pasukan Kiskenda tetapi Batara Narada mencegah. Batara Narada menyarankan agar Indra menarik pasukannya kembali ke Suralaya dan melaporkan peristiwa tersebut kepada Raja Tribuana.
Batara Narada memanggil Hyang Baruna, ia meminta tolong untuk menyembuhkan dan menghidupkan kembali para dewa yang pingsan dan palastra dengan Tirta Kamandalu.
Merasa kewalahan menghadapi Maesasura dan Lembusura, Batara Guru dan Batara Narada turun ke Arcapada mencari jago dewa yang dapat mengalahkan Prabu Maesa Sura dan Lembu Sura Batara Guru menaiki lembu Andini sedangkan Batara Narada mengikuti kepergian Batara Guru.
Sesampai di atas sungai Yamuna Batara Guru melihat cahaya sebesar lidi aren yang  memancar kelangit. Ternyata pancaran cahaya berasal dari Dewi Anjani yang sedang bertapa . Batara Guru iba hatinya melihat Dewi Anjani jarang sekali  mendapatkan makanan yang masuk dalam mulutnya. Batara Guru memetik daun sinom atau daun  asam yang masih muda, dan melemparkan kedepan mulut Dewi Anjani. Melihat ada makanan dihadapannya, Dewi Anjani  segera melahapnya. Apa yang terjadi.
Dengan kesaktian Batara Guru Dewi Anjani menjadi berbadan dua, wajah dan anggota badan yang berwujud kera kembali menjadi seorang dewi yang cantik jelita. Kelak Dewi Anjani melahirkan seorang anak berwujud kera putih, yang diberi nama Anoman.   Batara Guru  memanggil beberapa bidadari untuk memberi pakaian dan merias wajahnya. Kemudian Batara Guru memerintahkan para bidadari untuk membawa Dewi Anjani ke kahyangan.
Batara Guru  dan Batara Narada melanjutkan perjalanan ke hutan Sunyapringga menemui Subali yang sedang bertapa ngalong disebuah pohon besar. Subali dibangunkan dan diajak menemui Sugriwa. Mereka akhirnya bertemu dengan Sugriwa. Batara Guru menitahkan kepada Subali dan Sugriwa untuk menyelamatkan Dewi Tara yang diculik Prabu Maesasura dan Lembusura. Dan jika berhasil, akan diberi hadiah Dewi Tara untuk diperistri. Setelah memberikan pesan–pesan Batara Guru dan Batara Narada kembali ke kahyangan.
Tak berlama-lama, segeralah mereka menuju ke Goa Kiskenda. Sesampainya di Goa Kiskenda mereka dihadang pasukan Kiskenda, setelah melalui pertempuran sengit akhirnya mereka dapat mengalahkan para pasukan Goa Kiskenda dan berhasil membebaskan Dewi Tara. Demi keselamatan Dewi Tara, Subali member tugas pada Sugriwa untuk membawanya keluar dari goa terlebih dahulu sementara Subali akan menghadapi Maesasura dan Lembusura.
Subali gundah hatinya  Didalam hati ia tidak yakin  mereka bisa mengalahkan Prabu Maesasura dan Lembusura, sedangkan para dewa saja  tidak sanggup untuk mengalahkannya. Subali berpesan kepada Sugriwa menunggu didepan pintu goa saja. Sedangkan Subali sendiri yang akan melawan Prabu Maesasura dan Lembusura. Apabila nanti ada darah merah yang mengalir ke pintu goa, berarti Subali dapat mengalahkan Maesasura dan Lembsura. Dan apabila ada darah putih yang mengalir kepintu goa, adalah pertanda Subali mati  dan diminta Sugriwa menutup pintu goa. Sugriwa menangis mendengar pesan kakaknya namun Sugriwa siap melaksanakan perintahnya.  Seperti kita ketahui Subali berdarah putih disamping Begawan Bagaspati dan Prabu Puntadewa.
Mendengar kegaduhan yang terjadi Prabu Maesasura dan Lembu Sura keluar dari istana. Mereka mendapati Dewi Tara sudah hilang dan hanya ada seorang manusia kera yang ada di hadapannya, ya Subali. Kontan  meledaklah amarah Maesasura dan Lembusura. Tanpa basa-basi mereka langsung mengroyok Subali. Kali ini lawan Subali  sangat tangguh, berkali-kali Prabu Maesasura tewas, kemudian dilompati Lembusura, Prabu Maesasura hidup kembali demikian pula sebaliknya.
Dengan sisa tenaga yang ada Subali segera membenturkan kedua kepala musuhnya sehingga hancur berkeping-keping. Darah dan otak prabu Maesasura dan Lembusura mengalir kesepanjang goa. Sugriwa yang waktu itu  termangu menunggu kakaknya terkejut melihat darah merah dan darah putih mengalir bersama sama ke pintu goa. Sugriwa menangisi kematian kakaknya. Sugriwa berpikir bahwa kakaknya, Subali tewas, setelah berhasil mengalahkan Maesasura dan Lembusura, terbukti ada darah merah yang mengalir bersama darah putih kakaknya.
Sesuai pesan kakaknya Sugriwa  menutup pintu goa dengan batu-batuan. Sugriwa pergi ke kahyangan untuk menyerahkan Dewi Tara dan melaporkan kejadian yang telah terjadi di Goa Kiskenda. Di kahyangan,  Sugriwa diterima Bathara Guru. Menurut Batara Guru, Batara Guru akan menganugerahkan  Dewi Tara kepada Sugriwa untuk menjadi istrinya. Dengan berat hati Sugriwa menerimanya, karena ia merasa yang lebih berhak adalah Subali. Sugriwa bersama Dewi Tara kemudian meninggalkan kahyangan menuju goa Kiskenda.
Sementara itu Subali terjebak dalam goa. Subali marah karena adiknya berbuat curang padanya. Subali lupa dengan pesan pesan yang diberikan pada adiknya. Subali  bersemadi mohon pertolongan dewa untuk membuka pintu goa. Dengan kekuatan penuh Subali menghantam batu-batuan hingga hancur berkeping-keping.
Setelah keluar dari goa, Subali berangkat  ke kahyangan  menemui Batara Guru. Subali melaporkan semua kejadian pada Batara Guru. Batara Guru tidak bisa berbuat apa-apa. Karena  Dewi Tara sudah terlanjur diberikan kepada Sugriwa, karena Subali dianggap sudah tewas. Namun Batara Guru tidak akan melupakan jasa Subali. Diberikannya kepada Subali aji Pancasona yang mempunyai kekuatan hebat. Aji Pancasona menjadikan pemiliknya menjadi sakti dan tidak mati apabila tubuhnya  menyentuh tanah.
Sementara itu Sugriwa dan Dewi Tara telah bersemayam di Goa Kiskenda. Tidak lama kemudian Subali memasuki istana Goa Kiskenda,  melihat adiknya sedang bersanding dengan Dewi Tara, Subali langsung menarik Sugriwa dan memukulnya.
Ditariknya tubuh Sugriwa sehingga keluar dari goa. Perkelahian terjadi antara kedua kakak beradik. Keduanya tidak ada yang mau mengalah sehingga perkelahian mereka berlangsung sampai beberapa hari beberapa malam. Subali sangat geram. Tubuh Sugriwa akhirnya dilempar jauh keluar wilayah Goa Kiskenda. Sugriwa jatuh di hutan Pancawati.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar