SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU
DHARMA NUSANTARA JAKARTA
MAKNA FILOSOFIS PERISTIWA
“PEMBAKARAN DIRI” DEWI SITA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT HINDU DEWASA INI
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar
Sarjana Pendidikan Agama Hindu
Iin Retno Wulandari
0809.00.0771
2009.02.0105
JURUSAN KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN AGAMA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
AGAMA HINDU
JAKARTA
Juli 2012
QUOTE
- Wahrheiten wollen erkannt und festgestelld,
eben bewahrheitet sein, die wahrheifen selbst bedarf dessen nicht, sondern
sie ist es, die allein bewaehrt. Was orgend als wahr erkannt sein und
galten soll (Paul Natorp – Individuum und Gemeinschaft)
Segala kebenaran maunya di
ketahui dan dinyatakan, dan juga di benarkan; kebenaran itu sendiri tidak perlu
akan itu, karena dialah yang menunjukkan apa yang diakui benar dan harus
berlaku.
- Janganlah kita merasa paling benar sendiri, karena kebenaran itu tidak
ada yang parsial. Ia ada dimana-mana, dalam perpektif apa saja. Siapa tahu
yang kita yakini sebagai kebenaran hari ini, lusa tidak menjadi kebenaran
lagi. Siapa tahu yang kita anggap sebagai kebenaran dalam satu bidang,
ternyata diaggap sebagai kesalahan dalam bidang yang lain ( Bryan S. Tuner)
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Pendidikan Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta. Saya menyadari bahwa, tanpa
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada
penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini.
Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih kepada:
(1)
Bapak Prof. DR. Ir. I Made
Kartika Diputra, Dipl. Ing selaku ketua STAH Dharma Nusantara Jakarta
(2)
Bapak I Gusti Ngurah Rai, S.Ag
selaku pembimbing I yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk
mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini;
(3)
Ibu L.G. Saraswati Dewi, M.Hum
selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan dukungan, masukan, arahan,
serta semangat dalam penyusunan skripsi ini;
(4)
Bapak dan Ibu Dosen STAH Dharma
Nusantara Jakarta yang telah memberikan semangat dan dorongan secara moral
maupun spiritual kepada penulis sehingga penyusunan skripsi ini sebagai tugas
akhir dalam perkuliahan dapat berjalan dengan baik;
(5)
Kepada Orang tua saya,
Sudarmadi dan Supartini yang telah memberikan bantuan baik moral maupun
material hingga tersusunnya skripsi ini;
(6)
Kepada kedua adik saya
tersayang, Pekik Wicaksono dan Damar Dayu Mukti atas segala dukungan dan
pengorbanan yang diberikan kepada saya selama menempuh pendidikan S1 di STAH
Dharma Nusantara Jakarta;
(7)
Kepada teman-teman seangkatan
saya dan juga sahabat- sahabat baik saya, Widi, Dian, Yani, dan Bheta yang
telah banyak memberikan dukungan, kritik, dan masukan selama proses penulisan
skripsi ini.
Akhir kata, saya
berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas kebaikan semua pihak yang telah
membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan Ilmu Pengetahuan
dalam hal ini adalah Ilmu Pengetahuan Agama Hindu.
Jakarta, 15 Juli 2012
Penulis
Iin
Retno Wulandari
ABSTRACT
Name :
Iin Retno Wulandari
Study Program : Pendidikan Agama Hindu
Title : Makna
Filosofis Peristiwa “Pembakaran Diri" Dewi Sita dalam Kehidupan
Masyarakata Hindu Saat Ini
The theme of this skripsi is regarding of
the immolation of Goddess Sita in Ramayana’s story. This theme has been
captured based on a consideration of discrepancy in understanding Ramayana as a popular literary and religious
literature, the discrepancy is dominantly centered on
the immolation of Goddess Sita fragment. Research of this skripsi is literature
study by using Gadamer's Hermeneutics and intertextual approach. This study
also use some concepts such concept of loyalty, body, Sati Brata, and the
concept of Maya, to reveal the more relevant interpretation of the immolation
of Sita. This study found that Sita’s immolation can be interpreted as a symbol
of dharma, loyalty, and yajna of a wife. Besides, other studies found the
presence of Sita is expressed as a symbol of Prakrti, the existence of which in
his interpretation Mayasita have the concept of a view that is consistent with
the philosophy of Advaita Vedanta, and the spirit of feminism of Sita’s Characater.
Key Words: Sita, Immolation, Ramayan
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN
PEMBIMBING ........................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI..................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN
ORISINALITAS......................... iv
QUOTE……..................................................................................... vi
KATA PENGANTAR.................................................................... vii
ABSTRAK ...................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................... xi
DAFTAR TABEL........................................................................... xii
BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………... 1
1.1
Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
1.2
Fokus Penelitian .................................................................................. 7
1.3
Tujuan Penelitian `................................................................................ 7
1.4
Manfaat Penelitian ............................................................................... 7
BAB 2 LANDASAN KONSEPTUAL
DAN METODELOGI
PENELITIAN…………………………………………………….. 9
2.1... Definisi Istilah ......................................................................... 9
2.1.1 Definisi Makna ......................................................... 9
2.1.2 Definisi Filosofis ...................................................... 9
2.1.3 Deifinisi Dewi Sita.................................................... 9
2.2... Tinjauan Pustaka ...................................................................... 10
2.3... Landasan Konseptual .............................................................. 10
2.3.1 Konsep
Kesetiaan dalam Ramayana ........................ 10
2.3.2 Konsep Sati Brata dalam Ramayana......................... 11
2.3.3 Konsep Tentang Tubuh............................................. 16
2.3.4 Konsep
Tentang Maya ............................................. 17
2.4 Metode Penelitian..................................................................... 19
2.4.1 Pendekatan
dan Jenis Penelitian............................... 19
2.4.2 Sumber Data.............................................................. 20
2.4.3 Prosedur
Pengumpumpulan Data.............................. 20
2.4.4 Analisis
Data............................................................. 21
BAB 3 DATA PENELITIAN ....................................................... 28
3.1
Ramayana ............................................................................................ 28
3.1.1 Kedudukan Ramayana
dalam Kepustakaan Suci Hindu 28
3.1.2 Ringkasan Cerita Ramayana ................................... 39
3.2
Sita........................................................................................................ 43
3.2.1
Kelahiran
Sita ……………………………………... 44
3.2.2
Pernikahaan Sita dengan Rama..………………….. 50
3.2.3 Penculikan Sita oleh
Rahwana ……………………. 52
3.2.4 Pembuktian Kesucian Diri Sita …………………… 53
BAB 4 MAKNA FILOSOFIS PERISTIWA“PEMBAKARAN DIRI”
DEWI SITA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
HINDU DEWASA INI…………………………………… 57
4.1. Makna Filosofis Peristiwa
Pembakaran Diri Dewi Sita ................ 57
4.1.1 Simbol Dharma, Kesetiaan,
dan Yajna Tetingi Seorang
Istri ............................................................................ 58
4.1.2 Pengambilan Kembali Sita dari Agni :
Pandangan Hindu
Tentang Maya ……………………………………… 66
4.1.3 Simbol Dunia Materi ……………………………… 71
4.2. Interpretasi Peristiwa “Pembakaran Diri” Dewi Sita Pada
Kehidupan Saat Ini ………………………………………… 73
4.2.1 Kesetiaan
Istri Kepada Suami ……………………... 74
4.2.2 Aspek
Feminisme dalam Karakter Sita …………… 76
4.2.3 Ramayana
Sebagai Simbol Perjalanan Individu ….. 81
BAB 5 KESIMPULAN................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Bagan 2.1. Skema Hermeneutika Gadamer …………………… 23
Bagan 3.2. Skema Kedudukan Ramayana dalam
Kepustakaan
Suci Veda …………………….............................. 34
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai sebuah epos atau viracarita yang memberikan visi
universal terhadap tujuan dan idealisme kehidupan manusia berdasarkan pada
terminologi dharma, Itihasa juga dianggap mendapatkan aliran
langsung dari pemikiran agung Veda. J.N. Farquah dalam bukunya An Outline of the Religious Literature of
India mengungkapkan bahwa pada mulanya Itihasa
hanya merupakan epos atau Viracarita
yang dalam perkembangannya kemudian menjadi sejarah susastra agung agama serta
menempati kedudukan penting bagi masyarakat.
Itihasa juga menjadi penanda awal munculnya sekte - sekte dalam Hinduisme.
(Titib, 2008:7)
Sementara Amarakosha menjelaskan Itihasa
yang terdiri dari tiga kata Iti + ha +
asa yang berarti sudah terjadi demikian, yang kemudian dimaknai sebagai Purvavritta atau kejadian di masa
lampau.
Terlepas dari kisahnya yang bersifat
semi fantasi, sentuhan mitologi yang kuat didalamnya membuat Itihasa memiliki ciri khas sebagai
sebuah sastra spiritual. Gambaran tentang peradaban manusia dimasa silam dengan
nilai-nilai moralitas, kebijaksanaan, kemanusiaan, misi-misi suci Veda, serta
idealisme pandangan Hindu kuno terhadap kesempurnaan hidup, keluarga,
kenikmatan, maupun kepemilikan yang diarahkan pada jalan kesempurnaan hidup
manusia diajarkan melalui implementasi sikap para tokohnya. Oleh karenanya Itihasa memiliki kedudukan yang sangat
penting dalam struktur kepustakaan suci Hindu.
Seperti yang diketahui secara umum, Itihasa terdiri dari dua kitab besar
yaitu Ramayana dan Mahabharata. Ramayana adalah epos yang menceritakan perjalanan hidup Rama yang
oleh sebagian besar umat Hindu dipercaya sebagai Avatara dari Dewa Wisnu, sedangkan Mahabharata adalah epos yang menceritakan keavataraan Sri Wisnu dalam wujud Krisna ditengah konflik keluarga
antara Kurawa dengan Pandawa. Meskipun sama-sama mengisahkan tentang Avatara Wisnu serta mengandung ajaran
nilai moral yang luhur, ada perbedaan yang cukup mendasar dari kedua epos besar
tersebut. Apabila Ramayana berhilir
pada kama dengan Dewi Sita sebagai
sentral, maka dalam Mahabharata yang
menjadi fokus adalah perebutan harta dengan kerajaan Indra Prasta sebagai
sumber permasalahan. Bisa dikatakan apabila Mahabharata
berorientasi konflik pada Artha, maka
didalam Ramayana konfliknya lebih
berorientasi kepada Kama. Berbeda
dengan Mahabharata yang menggambarkan
nuansa kepahlawanan yang dominan, Ramayana
justru memiliki nuansa roman yang sangat kental dengan bahasa penulisan yang
puitis dan sarat dengan emosi, sehingga Ramayana
disebut juga sebagai Arsakavya yang
berarti syair yang indah. Disamping itu, kisah Ramayana adalah sebuah kisah yang sangat mengedepankan esensi
kemanusiaan. Mengikuti skema besar kisah Ramayana,
pembaca dituntun untuk memahami bahwa nilai-nilai mendasar seperti kesetiaan
dan kejujuran mulai dari berumah tangga, berbangsa, dan bernegara sangat
ditentukan oleh nilai filosofis dari diri orang tersebut.
Kisah Ramayana dituliskan oleh Maharsi Valmiki dan terbagi dalam tujuh kanda.
Ketujuh kanda tersebut antara
lain adalah Bala Kanda yang
menceritakan kehidupan masa kanak-kanak Sri Rama hingga pernikahannya dengan
Sita, Ayodhya Kanda berkisah tentang
penobatan Sri Rama menjadi raja Ayodhya yang kemudian dibatalkan dan berakhir
dengan tragedi pembuangannya kehutan selama 14 tahun, Aranya Kanda menceritakan tentang masa pembuangan Sri Rama ke hutan
hingga penculikan Dewi Sita oleh Rahwana, sementara kisah pertemuan Rama dengan
Hanuman, Sugriwa, dan Subali dikisahkan
dalam Kiskindha Kanda, kisah
tentang pembangunan jembatan oleh pasukan Sri Rama untuk menyeberang ke Lanka diceritakan dalam Sundara Kanda, Yuddha Kanda
mengisahkan tentang pertarungan Rama dengan Rahwana, dan kanda terakhir adalah Uttara Kanda menceritakan tentang kembalinya Rama dalam
wujud aslinya sebagai Narayana. Ketujuh kanda
tersebut dituliskan dalam bentuk sloka atau syair yang banyaknya hampir mencapai 24.000 sloka dan digubah dalam berbagai versi dengan
penulis yang berbeda-beda meskipun tanpa menghilangkan inti dari ceritanya. Di
berbagai belahan dunia seperti Thailand, Kamboja, Sri Lanka, Vietnam, Laos,
maupun Filiphina, Ramayana telah
dipentaskan dalam berbagai bentuk pertunjukan seni. Sementara di Indonesia
sendiri selain digubah dalam bentuk kekawin oleh Bhagawan Yogisvara, Ramayana juga banyak diabadikan
dalam bentuk lukisan, relief candi, cerita-cerita pewayangan, maupun dalam
bentuk sendratari.
Selain ditempatkan sebagai
bagian dari sastra spiritual, dalam perkembangannya Ramayana banyak dinikmati oleh masyarakat baik secara umum maupun
dari kalangan tertentu seperti kalangan sastrawan dan cendekiawan. Hal ini membuat keberadaan Ramayana tidak saja diterima sebagai bagian dari kepustakaan suci Hindu,
melainkan juga diterima sebagai bagian dari karya sastra populer. Kepopuleran Ramayana yang dinikmati oleh berbagai
kalangan dengan latar belakang yang berbeda membuat Ramayana terlahir dengan interpretasi yang berbeda-beda.
Konsekuensi logis yang kemudian tidak dapat dihindari adalah munculnya interpretasi yang saling bertentangan dan
cenderung bersifat kontroversi terhadap pemaknaan kisah
Ramayana. Bukan saja karena tidak
semua nilai-nilai Veda yang menjadi
tolak ukur ideal dalam kisah Ramayana
dapat dimaknai dengan baik oleh masyarakat secara umum, melainkan juga
kenyataan bahwa teks Ramayana yang
telah dituliskan sejak ribuan tahun sebelum masehi kini harus diinterpretasikan
dalam suatu sistem kehidupan masyarakat yang sudah jauh lebih maju dan modern,
dimana standar “ideal” masyarakatnya sedikit banyak telah mengalami perubahan.
Salah satu bagian dari Ramayana yang sering memunculkan
kontrovesi adalah peristiwa “pembakaran diri” Dewi Sita yang diceritakan dalam Yuddha Kanda. Dalam kanda tersebut diceritakan bahwa setelah kemenangan Rama atas
Rahwana, Dewi Sita tidak begitu saja diterima kembali oleh Rama. Dewi Sita
harus menjalani ujian untuk membuktikan kesucian dirinya dengan menceburkan
diri ke dalam kobaran api. Meskipun pada akhirnya Dewi Sita berhasil
membuktikan kesucian dirinya dan tidak terbakar oleh kobaran api, namun fragmen
“pembakaran diri” yang dilakukan oleh Dewi Sita tersebut menjadi episode yang
paling mengguncang nurani pembaca Ramayana
secara umum, terutama di abad-abad kebangkitan hak-hak wanita seperti saat ini.
Para pejuang hak wanita jelas tidak akan mudah menerima perlakuan semacam itu,
tidak peduli bahwa kejadian tersebut telah belangsung sejak ribuan tahun yang
lalu atau bahkan jika kejadian tersebut tidak benar-benar terjadi. Seperti
sebuah tulisan yang terbit disebuah redaksi mingguan Monday Eve di Bombay pada edisi Diwali tahun 1978, ketika seorang
wanita Jyoti Punwani menyatakan keberatannya atas prilaku Rama kepada Sita
dalam ujian “pembakaran dirinya”. Jyoti Punwani menggambarkan tindakan Rama
sebagai tindakan yang cenderung kasar dan mengarah pada Chauvinistis (Pal.1995:
vii). Tulisan tersebut langsung menyulut api dan mendapatkan reaksi keras dari
berbagai kalangan yang sangat mengagungkan Rama sebagai keawataraan Wisnu.
Beberapa pandangan secara konsisten
menyatakan bahwa pada saat itu Rama dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit
antara mempertahankan Sita, istrinya atau mempertahankan kepercayaan rakyat
kepadanya, akan tetapi alasan tersebut sering kali tidak begitu saja membuat
pembaca Ramayana dapat menerima
tindakan “membakar diri” yang akhirnya harus dipilih oleh Sita. Digambarkan
sebagai figur manusia yang ideal keragu-raguan Rama terhadap kesucian Sita
seakan-akan mengecilkan dedikasi dan pengabdian Sita sebagai wanita sekaligus
sebagai seorang istri, sementara kedua hal tersebut telah ditunjukan oleh Sita
dalam Ayodhya Kanda, ketika dia rela
meninggalkan berbagai kemewahan dan kenyamanan istana untuk dapat mengikuti
Rama dalam masa pembuangannya ke hutan selama 14 tahun, serta secara konsisten
tergambarkan dalam keteguhan hatinya yang tidak berpaling kepada Rahwana
meskipun dibujuk dengan berbagai rayuan serta kemewahan.
Dalam penafsiran yang lebih kritis,
peristiwa “pembakaran diri” Dewi Sita tidak saja dipandang sebagai suatu bentuk
ketidakadilan tetapi juga sebagai sebuah gambaran keterasingan dan kekerasan simbolis terhadap
perempuan. Bagaimana berbedanya masyarakat memandang dan memperlakukan tubuh
pria dan wanita seperti mendapatkan penegasan kembali melalui kisah tersebut. Bagi
seorang wanita tubuh seakan-akan tidak hanya menjadi miliknya pribadi,
melainkan menjadi suatu representasi nilai yang harus dipertanggung jawabkan
dihadapan masyarakat secara luas. Sementara disisi lain
laki-laki, memiliki kewenangan penuh atas tubuhnya.
Reaksi penolakan terhadap “pembakaran diri”
Sita pada akhirnya memunculkan karya-karya baru yang bersifat menggugat.
Kemunculan karya sastra seperti novel Rhuvana Tattwa karya Agus
Sunyoto, novel Kitab Omong Kosong
karangan Sena Gumira Ajidarma, puisi Elegi
Sita karya Dorothea Rosa Herliany, maupun puisi Sita Obong yang dituliskan oleh Farid Maulana adalah merupakan
bentuk-bentuk kritik yang menyodorkan penolakannya
terhadap prilaku kejam Rama terhadap istrinya.
Salah satu
karya yang cukup kontroversial dan mengundang banyak sorotan masyarakat adalah sebuah film dengan judul “Requiem
of Java: Sita Obong” yang digarap pada pertengahan tahun 2005 oleh salah satu
sutradara ternama di Indonesia, Garin Nugroho. Garin Nugroho menyatakan dalam
sebuah wawancaranya bahwa film “Requiemof
Java ;Sita Obong” diilhami oleh cerita dalam epos Ramayana. Garin Nugroho menjelaskan bagaimana dia menemukan adanya
sebuah paradoks pada Sita atau Shinta, yang disatu sisi ditempatkan sebagai
tanah yang didoakan Rama dan tanah dibajak oleh Rahwana disisi lainnya. Melalui
film tersebut Garin Nugroho manggambarkan keberadaan seseorang yang tanpa daya
tapi berusaha bertahan menjaga miliknya, akan tetapi melampiaskan kemarahan
dengan perusakan ketika terpojok. Di sisi lain ada sosok sewenang-wenang yang tanpa hati melakukan penguasaan
terhadap apa yang bukan menjadi miliknya.
Peristiwa
pembakaran diri Dewi Sita dalam kisah pewayangan jawa dikenal dengan lakon Sita Obong atau Sita Labuh Geni, yang
kemudian sering diartikan sebagai Sati
brata, yaitu tindakan ”pembakaran diri” yang dilakukan oleh seorang wanita
ketika suaminya meninggal. Tindakan ini biasanya dilakukan oleh seorang wanita
dengan mengorbankan dirinya hidup-hidup ke dalam kobaran api kremasi suaminya.
Tradisi ini diyakini dari kisah Dewi Sati, yang juga dikenal dengan
nama Dakshayani yang melakukan pengorbanan diri dengan terjun ke dalam api
pembakaran yajna karena tidak mampu
menanggung hinaan Daksha (ayahnya) terhadap Siva (suaminya). Kisah tentang
kesetiaan sempurna Dewi Sati kepada Siva inilah yang membut Sati brata banyak dianggap sebagai
tindakan yang menjadi simbol kesetiaan tertinggi seorang istri kepada suaminya,
sementara disisi lain tindakan ini juga banyak menimbulkan kritik keras dari
berbagai kalangan karena dinilai menyalahi nilai-nilai kemanusiaan.
Kenyataan bahwa umat Hindu
menempatkan Ramayana sebagai bagian
penting dalam kepustakaan sucinya, mengagungkan tokoh-tokoh didalamnya, bahkan
sebagian besar mempercayainya sebagai sebuah sejarah yang pernah benar-benar
terjadi di masa lalu, membuat masyarakat Hindu tidak bisa begitu saja berpaling
dari berbagai bentuk kontroversi muncul bersama keseluruhan kisah Ramayana. Keadaan ini tentu saja membuat
berbagai kritik yang ada pada akhirnya menjadi sebuah kesenjangan yang harus
dapat dikaji dan dijawab oleh ajaran Hindu. Terlebih terhadap kalangan yang
menganggap kisah tersebut menyimbolkan kekerasan terhadap wanita. Disini harus
ada suatu penjelasan, alasan, dan keterangan yang mampu memberikan jawaban yang
tepat atas rasa ketersinggungan mereka sebagai wanita yang merasa dilecehkan
melalui kisah “pembakaran diri” Sita tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul
berkaitan dengan peristiwa “pembakaran diri” Dewi Sita bukan tidak mungkin pada
akhirnya akan merujuk pada pertanyaan terhadap ajaran Veda. Sangat
penting bagi umat Hindu untuk dapat mengkaji dan memaknai kembali akar-akar dan
kepekaan bagi kenyataan yang lebih mendalam terhadap peristiwa “pembakaran
diri” Dewi Sita, sehingga tidak terjebak pada intelektual yang menghakimi
ataupu sebaliknya, terjebak pada pengidolaan yang membabi buta.
Berdasarkan
permasalahan yang telah diuraikan diatas, serta berdasarkan kepustakaan yang
ada, maka penulis sangat tertarik untuk mengkaji dan meneliti peristiwa
“pembakaran diri” Dewi Sita dalam skripsi yang berjudul “Makna Filosofis Peristiwa “Pembakaran Diri” Dewi Sita dalam Kehidupan
Masyarakat Hindu Dewasa Ini”
1.2 Fokus Penelitian
Berdasarkan uraian yang disampaikan pada latar belakang,
maka penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut :
1. Apakah ”pembakaran diri” Dewi Sita memiliki nilai-nilai filosofis kehidupan?
2. Bagaimana memaknai filosofi ”pembakaran diri” Dewi Sita dalam kehidupan
masyarakat Hindu dewasa ini?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada uraian latar
belakang dan rumusan masalah, maka dapat disampaikan tujuan khusus dari
penelitian yang dilakukan adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengkaji makna filosofis kehidupan
dari peristiwa ”pembakaran diri” Dewi
Sita.
2. Untuk mencari makna filosofis peristiwa
“pembakaran diri” Dewi Sita dalam kehidupan masyarakat Hindu Dewasa ini.
1.4 Manfaat Penelitian
Suatu
penelitian yang dilakukan hendaknya memiliki nilai manfaat bagi kehidupan
masyarakat maupun bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Demikian pula
dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu manfaat, khususnya bagi
masyarakat dan perkembangan pengetahuan tentang Hindu.
a. Manfaat
Praktis
Melalui
kisah Ramayana masyarakat Hindu secara praktis diberikan suatu tuntunan untuk
hidup bedasarkan pada idealisme Veda.
Tuntunan tersebut diberikan melalui penggambaran idealisme hidup tokoh-tokoh
dalam Ramayana. Untuk itu penelitian
ini diharapkan mampu memberikan suatu gambaran baru bagi masyarakat Hindu dalam
memaknai dan mengimplementasikan ajaran-ajaran mulia dalam kisah Ramayana, serta menjawab kesenjangan
yang mungkin muncul dalam membaca kisah Ramayana.
Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan motivasi kepada masyarakat
Hindu untuk lebih mengembangkannya dalam penelitian-penelitian selanjutnya.
b. Manfaat
Teoritis
Sebagai
bagian dari masyarakat akademis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi
pengembangan pengetahuan agama Hindu, serta dapat memberikan suatu pandangan
baru untuk menjawab kesenjangan yang mungkin muncul dalam mengitepretasikan
ajaran-ajaran Hindu. Dalam hal ini adalah terhadap peristiwa ”pembakaran diri”
Sita dalam Yuddha Kanda cerita Ramayana. Penelitian ini juga diharapkan
dapat dijadikan rujukan bagi penelitian-penelitian yang akan datang serta
berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
selengkapnya lihat disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar