Sabtu, 27 Oktober 2012

TEORI SIMBOL


TEORI  SIMBOL
Ngurah Aditya
Guardian Information at STAH DNJ, and Freedom Writers
rahdeaditya@gmail.com

Menurut Bodgan dan Taylor, teori interaksionisme simbolik dapat dikatakan sebagai pendekatan yang penting dari fenomenologi yang mana orang senantiasa berada dalam sebuah proses interpretasi dan definasi, karena mereka harus terus menerus bergerak dari satu situasi ke situasi lain. Sebuah fenomena akan bermakna apabila ditafsirkan dan didefinisikan
(Suprayogo dan Tobroni, 2001 : 105).
Dasar pemikiran lain dari teori interaksionisme simbolik menganggap bahwa manusia adalah mahluk pencipta, pengguna serta pembuat simbol. Semua yang dilakukan menggunakan simbol dan dengan simbollah manusia dapat berinteraksi. Istilah interaksionisme simbolik menunjuk kepada sifat khas dari interaksi antar manusia. Kekhasannya adalah bahwa manusia adalah saling menerjemahkan dan saling mendefiniskan tindakannya. Bukan hanya sekedar reaksi dari tindakan seseorang terhadap tindakan orang lain melainkan didasarkan atas makna yang diberikan terhadap tindakan orang lain itu. Interaksi antar individu diwujudkan oleh simbol-simbol, interpretasi atau dengan saling memahami maksud dari tindakan masing-masing.
Ardhendu Sekhar Gosh (dalam Titib, 2001 : 63) menyatakan bahwa kata simbol berasal dari kata “symbolon” (dalam bahasa Greek) yang berarti tanda dan dengan tanda itu seseorang mengetahui atau mengambil kesimpulan tentang sesuatu. Didalam bahasa Sanskerta kata simbol adalah ‘pratika’ yang mengandung arti yang datang ke depan, yang mendekati. Dengan demikian kata ini mengandung makna menunjukkan, menampilkan atau menarik kembali sesuatu dengan analogi kualitas kepemilikan atau dengan mengasosiasikan kedalam fakta atau pikiran. Disamping kata ‘pratika’, kata simbol dapat dijumpai beberapa padanannya di dalam bahasa Sanskerta, antara lain : cihnam, laksanam, lingam, samjna, pratirupa.
John Dewey dan Blumer, telah menyempurnakan pandangan interaksi simbol dengan membagi tiga prinsip arti simbol yang diberikan oleh informan. Ketiga prinsip itu adalah :
a)      Dasar manusia bertindak adalah untuk memenuhi kepentingannya, dalam memberikan tindakan atau fenomena, peneliti perlu sekali mengetahui proses atau konsekuensi dan tindakannya.
b)      Proses suatu tindakan seseorang pada prinsipnya merupakan produk atau hasil proses sosial ketika orang tersebut berinteraksi dengan orang lain, dalam memberikan interpretasi gejala, peneliti harus tepat mempertimbangkan hasil interaksi yang mempengaruhinya.
c)      Manusia bertindak dipengaruhi oleh fenomena lain yang muncul lebih dulu atau bersamaan. Oleh karena itu peneliti perlu memperhatikan fenomena atau gejala yang berkaitan atau yang mempengaruhi munculnya gejala tersebut (Arikunto, 2002 : 13).
Simbol adalah sesuatu yang perlu ditangkap  (ditafsir) maknanya dan pada giliran berikutnya dibagikan oleh dan kepada masyarakat dan diwariskan kepada anak cucunya (Susanto, 1990 : vi-vii).  Dibyasuharda (1990 : 22) dengan mengutip pendapat Carl Gustav Jung mengatakan bahwa simbol mengandaikan bahwa ekspresi yang terpilih adalah formulasi yang paling baik akan sesuatu yang relatif tidak terkenal, namun hal itu diketahui sebagai hal yang ada atau diharapkan ada. Selama suatu simbol hidup, simbol itu adalah ekspresi suatu hal yang tidak dapat ditandai dengan tanda lebih tepat. Simbol hanya hidup selama simbol itu mengandung arti bagi kelompok manusia yang besar sebagai sesuatu yang mengandung milik bersama sehingga simbol menjadi simbol sosial yang hidup dan pengaruhnya menghidupkan.
Triguna, (200 : 35) memaparkan bahwa ada empat peringkat simbol, yaitu : (1) simbol konstruksi yang berbentuk kepercayaan dan biasanya merupakan inti dari agama; (2) simbol evaluasi berupa penilaian moral yang sarat dengan nilai, norma dan aturan; (3) simbol kognisi berupa pengetahuan yang dimanfaatkan manusia untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas dan keteraturan agar manusia lebih memahami lingkungannya; (4) simbol ekspresi berupa pengungkapan perasaan. Keempat pembagian simbol itu bila dilihat secara hierarki-vertikal-transenden menyebabkan simbol konstruktif merupakan simbol yang paling hakiki. Simbol ekspresif atau simbol untuk mengungkapkan perasaan berada pada posisi pinggiran dalam struktur simbol. Artinya, struktur simbol seperti itu membawa konsekuensi yaitu perubahan pada simbol ekspresif tidak dengan sendirinya diikuti oleh simbol konstruktif. Sebaliknya, perubahan pada simbol konstruktif dapat diprediksi akan terjadi penafsiran kembali pada simbol moral, kognitif, dan simbol ekspresif. Hubungan yang memperlihatkan pola sibernetik tersebut memungkinkan ditarik suatu asumsi bahwa jumlah simbol konstruktif jauh lebih sedikit daripada simbol lainnya. Walaupun jumlahnya sedikit, simbol konstruktif merupakan pedoman yang pokok sehingga simbol ini merupakan sumber sekaligus tatanan bagi simbol-simbol lainnya. Triguna (1997 : 64) juga mengatakan bahwa simbol adalah suatu hal atau keadaan yang merupakan pengantaran pemahaman terhadap objek. Manifestasi serta karakteristik dari simbol tidak terbatas pada isyarat fisik tetapi juga berwujud pada penggunaan kata-kata yaitu simbol suara yang mengandung arti serta bersifat standar. Simbol juga seringkali memiliki makna mendalam yaitu konsep yang paling bernilai dalam kehidupan suatu masyarakat.
Svami Sivananda (1997 : 16) dalam bukunya yang berjudul “all about Hinduisme” dan terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia dengan judul : Intisari Ajaran
Agama Hindu oleh Yayasan Sanatana Dharmaasrama Surabaya, menegaskan bahwa : “bagaimanapun kecerdasan seseorang, ia tidak dapat berkonsentrasi tanpa bantuan suatu simbol pada awalnya, dalam rangka ia berhubungan atau memuja Tuhan (Brahman)”.
Simbol sangat bermanfaat bila dipandang dari sudut pandang yang benar, simbol akan memainkan suatu bagian yang sangat penting dalam kehidupan material, demikian juga dalam kehidupan spiritual. Walaupun kelihatannya sangat sederhana dan remeh akan tetapi penggunaan simbol sangat berguna dan efektif. Pratima atau patung merupakan simbol pengganti dari yang dipuja. Penggunaan sarana berupa simbol sangat dibutuhkan bagi umat dalam meningkatkan rasa baktinya kepada Tuhan. Mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh manusia biasa maka ia tidak akan bisa berhubungan langsung atau memuja Brahman tanpa melalui atau menggunakan suatu simbol, berbeda dengan para Maha Yogin atau Vedantin, mereka mampu berhubungan dengan yang dipujanya tanpamenggunakan simbol karena mereka sudah melatih diri sejak lama melalui ajaran yoga atau meditasi yang rutin, sehingga mereka telah mencapai apa yang disebut dengan siddhi. Beranjak dari keterbatasan manusia dalam mewujudkan keberadaan yang dipuja maka sangat dibutuhkan suatu simbol dalam mewujudkan makna keberadaan Brahman itu. Walaupun diketahui Brahman bukanlah simbol-simbol itu akan tetapi Dia hadir dalam simbol tersebut.

DAFTAR   PUSTAKA

Triguna, Ida Bagus Gede Yudha.2000. Teori Tentang Simbol. Denpasar : Widya Dharma.
Dibyasuharda. 1990. Dimensi Metafisik Dalam Simbol.Ontologi Mengenai Akar Simbol. Yogyakarta : UGM
Suprayogo, Imam dan Tabroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Titib, I Made.2001. Teologi & Simbol-Simbol Praktis Kehidupan. Surabaya : Paramita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar